Monday, March 14, 2011

Pentas Dunia Tanpa Dekoder


25 Agustus 1990

DAVID Copperfield, pesulap ulung Amerika itu, ternyata masih bersembunyi di Jakarta. Di mana? Setiap Rabu malam di 125 ribu rumah penduduk di seputar Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi (Jabotabek) yang memiliki dekoder RCTI. Dan mulai 24 Agustus 1990 nanti, membengkak di setiap pesawat TV di wilayah yang sama, tanpa perlu dekoder RCTI lagi. Tinggal pilih saluran 43 UHF, lalu hadirlah "pentas dunia di rumah Anda" -- slogan RCTI.
Keputusan pencabutan dekoder RCTI ini merupakan peristiwa penting. Betapa tidak. Menteri Penerangan Harmoko sampai tiga kali mengemukakannya. Pertama kali di DPR, 11 Juli lalu. Tiga hari kemudian, Menteri menegaskan di Bina Graha, bahwa Kepala Negara sudah menyetujui RCTI tanpa dekoder. Dan Sabtu pekan lalu, dalam sambutannya pada penandatanganan kerja sama antara TVRI dan PT Televisi Pendidikan Indonesia, sekali lagi Menteri Harmoko bicara soal pencabutan dekoder itu.
Mengapa begitu penting? Karena, dengan pencabutan ini, peta bisnis pertelevisian Indonesia akan berubah. Persaingan antara televisi pemerintah dan swasta akan makin tajam. Sejak Presiden Soeharto meresmikan mengudaranya RCTI pada 24 Agustus 1989, TVRI tak lagi memegang monopoli tontonan di layar kaca. Iklan yang haram di TVRI menjadi leluasa di RCTI. Dan tanpa dekoder -- iurannya Rp 15 ribu, Rp 20 ribu, atau Rp 30 ribu sebulan -- pemirsa RCTI ditaksir melonjak deras jadi sekitar 6 juta orang. Diperkirakan, TV swasta itu bakal kebanjiran iklan, dan dengan sendirinya mabuk duit. Serunya persaingan ini bukan hanya lantaran RCTI mencabut dekoder di wilayahnya. Tapi juga karena "pertempuran" akan merata ke seluruh Indonesia. Sebentar lagi ada RCTI Bandung. Di Surabaya ada Surabaya Centra Televisi (SCTV). Kemudian sebuah Stasiun Penyiaran Televisi Swasta Umum (SPTSU) di Denpasar. Bahkan, sesuai dengan SK Menpen No. 111/90, di setiap ibu kota provinsi RI sekarang ini boleh ada sebuah badan swasta yang mendirikan stasiun televisi.
Itu jelas merupakan lahan bisnis baru yang menarik bagi para konglomerat. Sebab, untuk punya sebuah stasiun televisi, paling tidak harus punya modal minimal US$ 90 juta atau sekitar Rp 150 milyar -- seperti modal awal RCTI. "Surabaya kan pasarnya sangat potensial, setelah Jakarta. Maka, kita bangun TV swasta di sini," kata Mohammad Noer, 72 tahun, bekas Gubernur Jawa Timur, yang duduk sebagai komisaris SCTV. Selain Pak Noer, komisaris SCTV lainnya adalah konglomerat dan raja semen Sudwikatmono serta Dirut PT Multi Bintang Indonesia Tanri Abeng. "Yang terbanyak sahamnya Pak Sudwikatmono. Saya dan Tanri Abeng sebagai pengawas saja," ujar Pak Noer, yang juga kita kenal sebagai salah seorang perintis berdirinya Stasiun TVRI Surabaya. Kabarnya, kelompok inilah yang memodali SPTSU di Denpasar. Sedangkan SPTSU di Bandung jelas milik RCTI, jadi sebut saja RCTI Bandung.
Sementara itu, yang nanti ada di Medan diintai oleh antara lain Bakrie Brothers. Namun, Aburizal Bakrie, bos Bakrie Brothers, tampaknya masih ingin menghitung-hitung dulu untung ruginya. Ical, panggilan Aburizal Bakrie, agaknya memang perlu menyimak pengalaman Bambang Trihatmojo dari Bimantara Group, yang memodali RCTI. Bisnis dengan modal Rp 150 milyar ini urusan jangka panjang. Kalau RCTI merugi pada setahun atau dua tahun pertama, masih wajar. Dulu pada awalnya RCTI memang sudah merindukan mengudara tanpa dekoder. Alasannya, dengan dekoder pemirsa akan terbatas dan iklan seret. Namun, Deppen ketika itu menganggap siaran terbatas perlu diadakan, agar iklan yang ditayangkan tak merasuk ke desa-desa yang dampaknya mendorong pola hidup konsumtif. Caranya, ya, pakai dekoder. Pada tahun pertama, RCTI bisa menjaring 70 ribu dan terus berkembang hingga 125 ribu. Untuk sebuah dekoder, RCTI mengeluarkan US$ 300. Jadi, seluruh investasi dekoder mencapai US$ 35 juta atau hampir Rp 65 milyar. Namun, sampai dicabutnya dekoder 24 Agustus 1990 ini, RCTI sudah mampu menutup biaya itu dari uang yang masuk.
"Dekoder mau dipertahankan atau dilepas, kami sudah tidak merugi lagi," ujar sebuah sumber TEMPO di RCTI. Dari 125 ribu pelanggan, masuk iuran sekitar Rp 2,25 milyar sebulan. Sedang dari iklan masuk Rp 12 milyar. Total paling tidak uang masuk Rp 14,25 milyar setiap bulan. Urusan RCTI sekarang adalah bagaimana dan berapa lama modal awalnya akan kembali. Kalau dekoder dipertahankan, dan target pelanggan sebesar 300 ribu pada 1991 tercapai, break even point (BEP) alias titik impas RCTI akan dicapai pada tahun ketiga. Perhitungan ini juga sudah mencakup iuran RCTI Rp 12 milyar yang harus disetorkan ke Yayasan TVRI -- di tahun pertama Rp 2 milyar, lalu Rp 4 milyar, dan Rp 6 milyar. Ini kalau biaya produksi RCTI dihitung sebesar US$ 2.000 per jam (biaya permanen) ditambah US$ 500-800 (biaya programa) untuk setiap materi yang ditayangkan per jam. Sebagian besar untuk sewa film-film asing atau merelai siaran langsung dari luar negeri serta sebagian kecil ongkos membuat produksi sendiri.
Berapa lama modal RCTI akan kembali di zaman decoderless? "Susah saya katakan kapan kita mencapai BEP," kata Presiden Direktur RCTI, J.P. Soebandono. Pasalnya, ongkos produksi RCTI diperkirakan juga akan melesat naik. Biaya programa atau singkatnya sewa film asing ditaksirnya bisa naik sampai empat kali lipat, sejalan dengan meningkatnya jumlah pemirsa. Sementara itu, Soebandono belum melihat derasnya iklan masuk. Sebab, sesuai dengan SK Menpen No. 111/90 tadi, iklan harus produksi dalam negeri dan diperagakan oleh artis Indonesia. Jadi, biro-biro iklan pasti butuh waktu sebelum masuk ke RCTI. Kerepotan RCTI lainnya adalah mengurus 125 ribu dekoder yang ditarik. Mau diapakan? "Belum ada alternatif yang pasti. Jadi, sudah kami siapkan empat kontainer besar untuk menampungnya," ujar J.P. Soebandono. Ada terbersit gagasan untuk suatu ketika memakai dekoder tadi untuk semacam TV kabel seperti di AS. Tapi entah kapan ini terwujud.
Jangan lupa, untuk mengembalikan 125 ribu dekoder ke masyarakat -- sebuah dekoder dihargai Rp 75 ribu -- RCTI butuh dana sekitar Rp 9,3 milyar. Ini akan menyedot dana RCTI dan membuat baliknya modal makin lama. Tapi sebenarnya ada lahan pengganti lain yang dilirik RCTI. Dari anggaran iklan semua perusahaan di Indonesia sebesar Rp 400 milyar, RCTI menargetkan bisa meraih Rp 64 milyar. "Bagaimanapun juga, lebih menguntungkan tanpa dekoder," kata Direktur Teknik RCTI Alex Kumara memastikan. Karena tanpa dekoder, tarif iklan RCTI bisa lebih bersaing. Ambil contoh tarif untuk kategori I, yang diputar di saat prime time (biasanya menjelang siaran berita). Dulu tarifnya Rp 2,49-4,05 juta per 30 detik. Dengan tarif baru, mulai berlaku 1 September 1990, RCTI memukul Rp 5,3 juta untuk kategori prime time yang sama. Namun, masih ada tarif tambahan sebesar Rp 2,2 juta kalau si pemilik produk bersedia barangnya diiklankan di Surabaya Centra Televisi. Jadi, harga seluruh paket iklan itu adalah Rp 7,5 juta. Andai kata sebuah produk cuma mau diiklankan di satu stasiun, tarif di atas ditambah 15 persen.
Tampaknya, dalam urusan iklan ini, RCTI yang markasnya di jantung bisnis Indonesia tampil sebagai price leader. Sebagai patokan harga untuk televisi swasta yang lain. Apalagi kalau tahun depan RCTI Bandung mulai mengudara, posisi bisnis iklan RCTI akan makin kuat. Sebab, rencananya, pemasang iklan di Jakarta otomatis akan melihat produknya diiklankan juga di Bandung. Stasiun RCTI Bandung tampaknya paling lambat awal 1991 akan dibuka, mengingat biaya pendiriannya relatif murah, "cuma" Rp 10 milyar. Yang akan lebih dahulu mengudara tentunya SCTV. Dari stasiunnya di kawasan Darmo Satelit, SCTV akan menjangkau daerah Gerbangkertasusila (Gresik-Bangkalan-Mojokerto-Sidoarjo-Surabaya-Lamongan), yang berada dalam radius 80 km -- sesuai dengan SK Menpen. Namun menurut Mohammad Noer, setelah siaran percobaan, daya pancar SCTV ternyata lebih bagus. Daerah seperti Pamekasan dan Banyuwangi, lebih dari 200 km dari Surabaya, ternyata juga bisa dijangkau. Dan ini diharapkan bisa mendatangkan iklan lebih banyak. "Untuk perkenalan, sejak 25 Agustus ini sampai 1 September, iklan digratiskan," ujar Pak Noer lagi. Rencana siaran -- setiap hari mulai pukul 17.00 sampai 24.00 dan Minggu sejak 12.00 sampai 24.00 -- kabarnya mengalami penundaan sampai akhir Agustus.
Untuk sementara, SCTV akan "mengimpor" siaran-siaran RCTI. Nah, ini duit lagi buat RCTI. Noer optimistis, investasi grupnya yang bernilai Rp 150 milyar itu akan kembali setelah lima tahun. Minat kaum pengusaha rupanya masih berkobar-kobar melihat "sukses" RCTI. Tapi bagaimana minat masyarakat terhadap televisi swasta? Sebuah penelitian Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Undip Semarang mengungkapkan bahwa 83,81 persen penduduk Semarang mengharapkan adanya televisi swasta di ibu kota Jawa Tengah itu. Cuma, pengumpulan pendapat ini hanya melibatkan 450 orang responden dan yang dipilih mayoritas warga Semarang dari golongan penghasilan menengah ke atas. Dan, ini penting, yang diteliti adalah orang-orang yang sudah memiliki TV warna. Karena, mereka dianggap calon pelanggan serius TV swasta.
Yang luput dari penelitian ini adalah orang-orang di desa, yang cuma nonton TV di balai desa atau di tempat pak lurah. Mereka sebenarnya pemirsa penting televisi swasta. Karena, seperti halnya nanti SPTSU di Bali. Dengan radius pancar 8 km, artinya seluruh Bali, termasuk desa-desanya, akan terliput. Lantas bagaimana mencegah pola hidup konsumtif akibat iklan gemerlap televisi swasta? Kini RCTI dan SCTV, misalnya, tampil dengan acara 90 persen hiburan dan 10 persen lainnya siaran pendidikan, siaran berita, atau lainnya. Bagaimana membuat agar para petani dan anak-anak sekolah di pelosok sana tak terus nongkrong di depan TV, nonton Madonna berbusana sexy? Siaran pendidikan, yang rencananya akan dimulai pada Januari 1991, diharapkan akan bisa menolong menggiatkan minat belajar. Dalam siaran yang dikelola PT Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) itu -- yang dirutnya adalah Nyonya Siti Hardiyanti Rukmana -- akan ditayangkan berbagai program pendidikan selama empat jam sehari, mulai pukul 12 siang. Untuk sementara, sebelum TPI punya stasiun di TVRI akan jadi semacam "bapak angkat yang menyediakan semua perangkat kerasnya. Yang harus diingat, siaran pendidikan itu juga akan memasukkan iklan, kendati kabarnya sangat selektif. "Pokoknya, iklannya harus bersifat mendidik, misalnya iklan susu dan alat-alat sekolah," ujar Mbak Tutut, seusai penandatanganan kerja sama antara TPI dan TVRI, Sabtu pekan lalu.
Kehadiran televisi swasta memang menarik sekaligus mengundang polemik. Di Amerika sana, sebagai contoh, televisi swasta banyak dikritik karena dianggap cuma menyuarakan suatu golongan masyarakat. Tapi di Indonesia, kita sebenarnya bisa berharap banyak. Dialog ekonomi dan politik, misalnya seperti tampilnya S.K. Trimurti, Cosmas Batubara, dan Haryono Isman di RCTI pada Jumat lalu, terasa lebih "hidup" dan terang-terangan dibanding dialog serupa di TVRI. Karena tak terlalu berat beban menyampaikan slogan-slogan pembangunan, awak TV swasta berpeluang tampil lebih lugas dan jujur. Tetapi tanpa saingan -- kecuali TVRI, kalau itu bisa disebut saingan -- masih akan tinggikah semangat TV swasta untuk menyuguhkan siaran-siaran yang bermutu prima kelak? Karena, bagaimanapun mutu siaran itu nanti, toh iklan tetap mengalir. Marilah kita berdoa, mudah-mudahan RCTI dan lain-lainnya tetap berada di jalan yang lurus. Toriq Hadad, Moebanoe Moera, Priyono B. Sumbogo, dan Jalil Hakim

No comments:

Post a Comment