Monday, March 14, 2011

Mereka Tinggal Di Mulut Naga


24 Agustus 1991

Tumbuhnya perumahan modern melahirkan Pecinan-Pecinan baru yang menghambat proses pembauran. Peran "Cino beri." PECINAN seperti tak pernah lekang dimakan zaman. Kampung para keturunan Cina itu bisa dijumpai di kota-kota besar negeri ini dari dahulu sampai sekarang. Sebagian sudah bersalin rupa. Dari kampung kumuh yang menyebarkan bau bawang dan hio menjadi real estate yang serba teratur dan mahal. Pecinan yang kerap dituduh sebagai lambang eksklusivisme keturunan Cina itu ternyata punya akar sejarah yang panjang. Banyak alasan yang menyebabkan keturunan Cina merasa lebih kerasan di Pecinan.
Syahdan, ketika pedagang Cina tiba di Batavia pada abad ke-15, alasan bermukim di Pecinan adalah kecocokan antara pedagang seketurunan. Ketika Belanda masuk pada 1659, pedagang Cina cenderung makin eksklusif karena alasan keamanan. Akibatnya, jumlah pedagang Cina di Pecinan kian meningkat. Seabad kemudian, Pecinan sudah terlalu sempit untuk menampung derasnya pendatang buruh kasar asal Cina. Maka, pada 1740 pecahlah pengangguran di kalangan orang Cina di Batavia, kini Jakarta. Cemburu dan baku hantam di antara mereka pun tak terhindarkan. Maka, pemerintah VOC Belanda memaksa orang-orang Cina yang luntang-lantung dan bikin kacau di luar masuk kembali ke Pecinan dengan alasan keamanan.
Kebiasaan hidup berkelompok di kalangan keturunan Cina ini terus terbawa-bawa sampai sekarang. Di Jakarta Pecinan kuno -- yang bangunannya masih khas Cina masih bisa dijumpai di kawasan Glodok atau Jatinegara. Sementara itu, Pecinan modern -- berupa real estate yang penghuninya sebagian besar keturunan Cina -- kian mekar. Mulai dari kawasan Pluit, Pantai Kapuk, Sunter Agung Podomoro, dan Kelapa Gading di Jakarta Utara, sampai permukiman seperti Greenville, Taman Ratu, Green Garden, Sunrise Garden di Jakarta Barat. Konon, ada kepercayaan Cina yang menggambarkan Jakarta sebagai seekor naga. Daerah paling bagus untuk berdagang adalah daerah mulut naga yang berarti daerah pelabuhan. Mulut naga Jakarta adalah pelabuhan Sunda Kelapa. Mungkin, ini alasan mengapa keturunan Cina suka tinggal di Jakarta Utara dan Barat.
Apa pun alasannya, tumbuhnya Pecinan-pecinan modern ini, sedikit banyak, memang menghambat proses pembauran. Salah satu perumahan yang bisa disebut Pecinan modern adalah Greenville. Permukiman yang dibangun tahun 1973 itu sekarang dipadati 11.750 penduduk. Di antaranya, sekitar 11 ribu adalah golongan keturunan Cina. Di sini, sudah tak ada bangunan khas Cina. Hanya satu-dua rumah yang masih memasang hio di depan. Kompleks golongan ekonomi menengah ini siang-malam dijaga 64 satpam. Seperti halnya Pecinan, di kompleks Greenville tersedia semua sarana. Mulai taman kanak-kanak sampai SMA, gereja, gedung olahraga milik Bimantara, klinik pengobatan, bank, sampai berbagai restoran. Yang disajikan juga khas: bebek asap hong kong, bakmi, atau chinese food lainnya. Mau mobil mewah? Di jalan utama kompleks itu ada ruang pamer Baby Benz. Itu sebabnya Ayung alias Junus Kosasih, 43 tahun, merasa cocok tinggal di sana. "Mungkin sudah jodoh, yah, begitu lihat kok rasanya pas," kata keturunan Cina yang sudah tujuh tahun menghuni di kompleks serba ada itu.
Greenville dipisahkan dengan Kampung Bali, kampung penduduk pribumi, oleh pagar seng dua meter yang ditopang beton kukuh. Dan, tentu saja, perbedaan tingkat ekonomi. Warga dua kompleks bertetangga itu jarang sekali bertemu. Paling-paling kalau ada perayaan peringatan Hari Proklamasi. Di Greenville biasanya diadakan lomba memanjat pohon pinang yang batangnya sudah diolesi oli. Ada saja anak Kampung Bali yang ikut. "Orang-orang kaya di sini senang melihat kita belepotan oli," kata Subur, 25 tahun, asal Kampung Bali, sambil tertawa, pekan lalu. Pecinan modern seperti Greenville ada di kota-kota besar lain. Di Bandung, ada kompleks Taman Sakura Indah di Jalan by pass Soekarno-Hatta. Dari seratus rumah di sana, hanya ada empat yang pribumi. Maklum saja, harga rumah di situ Rp 250 juta hingga sekitar Rp 2 milyar. Kompleks elite ini dijaga ketat oleh 40 satpam yang bergiliran menjaga 24 jam nonstop. Tiap bulan, ada penghuni yang dikenai uang keamanan dan kebersihan Rp 70 ribu. Ada juga yang dibebani Rp 200 ribu.
Warga Taman Sakura masih mengurus KTP-nya di perumahan kumuh yang berbatasan dengan kompleks itu. Kalau ada acara peringatan Hari Kemerdekaan, warga Taman Sakura biasanya menyumbangkan sejumlah uang "pengganti" karena tak bisa aktif membantu kegiatan perayaan, seperti pembuatan gapura dan membersihkan kampung. Apakah anak-anak Taman Sakura ikut berbagai jenis lomba? "Wah, kami tak memaksa. Lagi pula, mana mungkin anak-anak mereka ikut lomba makan kerupuk di sini," ujar Agus, ketua RW yang lokasi kerjanya persis berbatasan dengan tembok tinggi Taman Sakura. Kesenjangan hubungan antara kompleks keturunan Cina dan kampung pribumi, apa lagi kalau bukan karena perbedaan tingkat ekonomi yang agak mencolok. Fulus memang unsur penting untuk mempermulus pembauran.
Di kawasan Pecinan kuno Pinangsia, Jakarta, contohnya, keturunan Cina hidup berdampingan rukun dengan penduduk asli. Salah satu sebabnya, sekitar 17 ribu keturunan Cina di sini hampir sama tingkat penghidupannya dibandingkan empat ribu penduduk yang pribumi. Padahal, dibanding perumahan seperti Greenville, di Pinangsia sesungguhnya bau Cina terasa lebih pekat. Rumah para keturunan itu kebanyakan masih beratap khas seperti kelenteng. Hampir di tiap rumah ada altar untuk sembahyang dan guci tempat hio dibakar. Di pintu-pintu rumah, ada bentuk segi delapan yang dibingkai cermin yang merupakan lambang Yin dan Yang, unsur dingin dan panas menurut kepercayaan Cina. Pemandangan serupa dahulu tampak di segi tiga Senen, Jakarta Pusat, sebelum daerah itu dibongkar. Warung-warung makan yang ada juga menyajikan makanan khas Cina. Ada masakan Kanton. Ada pie oh, ada kodok oh. Pedagang bakmi ayam mendorong gerobak bertuliskan suiki auw. Tiap malam, penjaja sate babi keluar masuk lorong.
Toh tokoh Islam seperti Kiai Ali Murtadho, 60 tahun, bisa hidup di lingkungan itu. Kiai asal Cirebon ini tiap minggu menyelenggarakan pengajian di sebuah masjid di lokasi Pecinan itu tanpa gangguan apa pun. Ketika masuk waktu salat, Kiai Ali tak sungkan mengumandangkan azan lewat pengeras suara keras-keras. Kalau Jumat, warga keturunan Cina tak pernah memprotes ditutupnya beberapa jalan kecil untuk Jumatan. "Mereka tahu diri," kata Kiai Ali lagi. Sebaliknya, ia tak merasa terganggu menghirup bau hio ketika sedang salat di masjid. "Itu kepercayaan mereka. Di sini kami saling menghargai," kata kiai yang sudah bermukim di Pecinan sejak 1962 itu.
Proses pembauran yang mulus juga terjadi di kampung Cina di Balong, Solo. Sekitar setengah abad lalu, tempat ini sengaja disiapkan pemerintah kolonial Belanda untuk menampung keturunan Cina. Kini, bukan hanya keturunan Cina yang bermukim di Balong. Bahkan, dari 350 jiwa, hanya 40% yang keturunan Cina. Sisanya pribumi. Proses pembauran berjalan melalui berbagai cara, antara lain perkawinan. Adalah Kromo, kini 69 tahun, yang mengawini gadis Cina bernama Mely, sekarang 60 tahun. Perkawinan ini menghasilkan lima anak dan delapan cucu. Sampai sekarang pasangan Kromo-Mely masih menetap di Balong. Mereka berdagang kain mori di Pasar Klewer, Solo. Seperti halnya penduduk Balong yang pribumi, keturunan Cina di sana juga mencari nafkah dari membuka warung, salon, pertukangan kayu, buruh bengkel, atau berdagang di Pasar Klewer. "Katakanlah kami ini golongan cino beri," seloroh penduduk keturunan Cina bernama Liong.
Yang dimaksud cino beri adalah keturunan Cina kelas teri. Liong, 37 tahun, menghidupi dua anaknya dengan membuka warung kelontong kecil-kecilan di ruangan depan rumahnya. Kondisi rumahnya juga memprihatinkan, dindingnya papan yang sudah kusam, lantainya masih berupa tanah. Rumah berukuran 4 m X 8 m itu sewanya murah, hanya Rp 60 ribu setahun. Mungkin karena sama-sama melarat itu penduduk Balong bisa kompak. Bila malam tiba, pos kamling penuh pemuda Jawa dan Cina. Selain menjaga keamanan, mereka kerap main catur atau memetik gitar mendendangkan lagu dangdut. Karena kerapatan hubungan inilah Balong terhindar dari kerusuhan rasial yang meletus di Solo pada 1980. Sewaktu rumah para keturunan Cina dibakar dan mobilnya dijungkirbalikkan, Balong tetap tenang. Bahkan, menurut Sing To, penduduk Balong berusia 48 tahun, beberapa keturunan Cina di Balong bertindak sebagai juru damai.
Namun, keturunan Cina di luar Balong, yang rata-rata lebih kaya, seperti halnya di beberapa kota besar lain di negeri ini, agaknya masih cenderung eksklusif. Kadang-kadang pengelompokan seperti itu tak sepenuhnya direncanakan. Kemampuan ekonomi untuk memiliki rumah di kawasan tertentu berharga ratusan juta misalnya, juga ikut menentukan pengelompokan tadi. Bukan rahasia lagi, golongan keturunan Cina memang punya kemampuan yang lebih baik dibandingkan yang pribumi. Itu sebabnya kemudian mereka seperti berkumpul di berbagai real estate mewah.
Namun, kecenderungan eksklusif di antara keturunan Cina tak hanya urusan tempat tinggal. Dalam memilih karyawan di perusahaannya, keturunan Cina dianggap suka mengutamakan golongannya sendiri. Sebuah perusahaan konglomerat di sebuah gedung kawasan Segi Tiga Emas, Jakarta, seperti disaksikan TEMPO, hampir semua karyawannya adalah keturunan Cina. Yang berkulit cokelat paling-paling hanya mentok sebagai juru tulis atau resepsionis. Ketika TEMPO menanyakan soal ini pada sang big boss, alasan yang dikemukakan adalah soal kenyamanan bekerja. "Kalau kita berasal dari budaya yang sama, etos kerja yang sama, tentu lebih mudah bekerja sama," kata taipan muda itu.
Di sebuah bank besar, pembedaan antara pribumi dan nonpri konon sampai ke urusan gaji. Adalah Denok (bukan nama sebenarnya), yang bekerja dua tahun di cabang pembantu bank tadi di kawasan Kuningan. Setahun kemudian, masuk seorang keturunan Cina dengan ijazah dan job yang sama, dan prestasi yang, kata Denok, kurang lebih sama, "tapi sekarang gaji yang nonpri itu lebih tinggi 25 persen dari saya," katanya. Menurut dia, ini berlaku untuk hampir semua karyawan yang pribumi. Kasus serupa menimpa Joko, juga nama samaran, karyawan Bank Internasional Indonesia. "Saya yakin, gaji saya lebih kecil 10-15% dari yang keturunan Cina," katanya. Dalam hal promosi, ia mengakui BII tak memandang golongan, tapi menilai prestasi. Tak kurang dari Presdir BII Indra Widjaja yang membantah keterangan Joko. Katanya, gaji di BII diberikan berdasarkan skala. Kalau jenis pekerjaan dan kualifikasinya sama, tak mungkin gajinya berbeda. "Skala gaji itu terbuka, bisa dilihat siapa saja. Kalau mereka dibedakan, bisa menuntut," Widjaja menjelaskan.
Lippobank mengakui bahwa pembedaan pri dan nonpri hanya untuk urusan tugas. Jadi, kata Direktur Eksekutif Laksamana Sukardi, jangan heran kalau ada satu bagian yang seluruhnya keturunan Cina. Misalnya, Divisi Investasi Taiwan, "akan lebih baik kalau dipakai pegawai yang nonpri," kata Laksamana. Jabatan kepala cabang Lippo di Jakarta Kota, pusat keturunan Cina di Jakarta, pasti akan dijabat yang nonpri. Kepala cabang Pondok Indah dipilih yang pribumi. Kalau untuk tugas berhubungan dengan pedagang eceran yang umumnya nonpri, Lippo pasti menugasi yang nonpri juga. Sebaliknya, kata Laksamana, kalau berurusan dengan BUMN, lebih baik kalau karyawan pribumi yang menghadap. Soal jenjang karier, Laksamana menunjuk anggota direksi: tiga dari lima direksi adalah pribumi. Jumlah karyawan pri dan nonpri di sana juga fifty-fifty. Perusahaan konglomerat Astra milik William Soeryadjaya kabarnya termasuk yang tak memberlakukan diskriminasi kepada pribumi. Di dewan direkturnya sekarang ini ada tiga pribumi. Enam direktur lainnya adalah nonpri. Di jajaran komisaris, tiga dari sembilan komisaris adalah pribumi. Ir. Benny Subianto, Wakil Presiden Direktur yang berdarah campuran Madura-Sunda, menjelaskan bahwa sikap Astra ini terbawa dari pribadi William sebagai the top di Astra. "Mantu Om Willem pribumi. Keponakannya juga kawin dengan pribumi. Saudara kandungnya juga menikah dengan orang Lampung beragama Islam. Sejak muda, Om Willem menganggap dirinya asli Majalengka," cerita Subianto.
Aburizal Bakrie, bos Grup Bakrie, merasa perlu menampung sebanyak mungkin tenaga kerja pribumi. "Sesuai dengan komposisi jumlah penduduk, dong, 95 persen karyawan Bakrie adalah pribumi. Di perusahaan milik nonpri seharusnya komposisinya mencerminkan jumlah yang banyak itu," kata Ical, panggilan Aburizal. Ical mengkritik keras jalan pikiran yang menganggap pribumi tak punya etos kerja yang lebih baik dari nonpri. Ia menunjuk pedagang-pedagang zaman Sriwijaya yang sejak dahulu sudah dikenal sebagai pedagang-pedagang tangguh. Ia juga menolak membedakan ras dalam komunikasi. "Jangan karena di sana nonpri di sini pri lalu kita tak bisa berkomunikasi. Itu sikap eksklusif yang perlu dihilangkan," ujar Ical. Yang juga ditentangnya adalah policy sengaja menempatkan pegawai nonpri untuk berkomunikasi dengan golongannya. Atau pri dengan pri. "Ini suatu sikap nonkebangsaan."
Kalau sikap ini bisa dihilangkan, barangkali perusahaan nonpri bisa menerima lebih banyak karyawan pribumi. "Jangan pribumi cuma dipakai untuk tukang sapu," kata Ical. Ada benarnya. Dinding yang memisahkan antara pribumi dan keturunan Cina memang masih belum cair. Cara pemecahannya, agaknya, lebih banyak terpulang pada sikap kaum keturunan itu jua. Toriq Hadad, Dwi S. Irawanto, Bambang Sujatmoko, Ahmad Taufik, dan Kastoyo Ramelan

No comments:

Post a Comment