Monday, March 14, 2011

Gairah Membeli Dan Arus Menguasai


23 Juni 1990

PERAYAAN HUT ke-463 Jakarta, yang jatuh pada 22 Juni pekan ini, telah diwarnai oleh kemelut persoalan tanah. Gairah memperebutkan daerah Segi Tiga Emas Jakarta -- meliputi kawasan Jalan Thamrin-Sudirman, Jalan Gatot Subroto, dan Jalan Rasuna Said, Kuningan -- masih belum reda kendati berita-beritanya tidak lagi memenuhi surat kabar. Tapi justru di balik sepinya berita itu, sejumlah grup raksasa -- seperti Indocement (Salim Group), Summa, Duta Anggada, Bagja, Astra, Dharmala, Bimantara (melalui Bimantara Siti Wisesa), dan Golden Truly (Sudwikatmono), serta Ciputra -- bergerak lebih leluasa untuk memperebutkan lahan.
Tiba-tiba saja, misalnya, Sudwikatmono diungkapkan bermaksud membeli lokasi tempat Rutan Salemba kini masih berdiri. Atau grup Bimantara akan meluaskan lahan Plaza Indonesia ke arah Kebon Kacang. Atau grup lainnya lagi sedang mengincar kompleks olahraga Senayan. Dan entah grup yang mana lagi sudah mulai mengosongkan kawasan perumahan di sekitar Pasaraya, Blok M, Kebayoran Baru. Melihat gejolak memborong lahan seperti itu, Gubernur DKl Wiyogo Atmodarminto belakangan ini semakin pusing. Tak kurang dari 59 perusahaan yang mengajukan permohonan untuk membangun gedung perkantoran di seputar Segi Tiga Emas. Bahkan yang sudah bercokol di sana seperti Bakrie Brothers (di Kuningan), juga sudah menyiapkan rencana mengembangkan gedung perkantorannya. Izin sudah diajukan ke Pemda DKI. Tapi kabarnya, puluhan permohonan izin tersebut belum ada yang dikabulkan.
Tuntutan pengembangan bisnis properti, sedikit banyak, akan membawa perubahan atas peta DKI Jakarta. Juga Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) dan Rencana Bangun Kota (RBWK) suatu saat barang kali perlu ditinjau kembali. Apakah planning itu akan bertahan pada yang sudah disiapkan untuk periode 1985-2005 atau ada perubahan. Biasanya, fleksibilitas masih dimungkinkan lewat peraturan daerah (perda). Dan perda itu ditinjau kembali tiap lima tahun, untuk keperluan RUTR dan RBWK. Gubernur Wiyogo pernah mengatakan, pihaknya tetap merujuk kepada rencana tersebut kendati tidak harus bersikap kaku. "Saya tidak menutup mata melihat perkembangan di lapangan," katanya.
Sikap seperti itu perlu mengingat pertumbuhan lokasi perkantoran atau gedung komersial kian lama, kian meningkat. Menurut Ketua REI Mohamad S. Hidayat, ada tiga pokok yang ikut mempengaruhi melonjaknya kebutuhan lahan atau kawasan. Pertama, peningkatan ekonomi pada dua tahun terakhir ini yang akhirnya melahirkan kebutuhan baru akan ruang perkantoran, hotel, pertokoan, perumahan. Kedua, pola perdagangan internasional. Penghapusan GSP oleh AS untuk Taiwan, Korea, Hong Kong, dan Singapura tetah menyebabkan industrial shift -- di antaranya ke Indonesia. Maka, fasilitas pendukung perlu diciptakan, berupa ruang perkantoran dan perumahan. Ketiga, akibat deregulasi di bidang perbankan, yang banyak mempengaruhi investasi di bidang properti. "Bisnis properti, yang dulunya menurun, sekarang kecenderungannya naik," kata Hidayat. "Ini juga menambah rangsangan baru bagi pemilik modal untuk investasi di bidang properti.
Sudah tentu investasi di bidang properti akan diawali dengan penguasaan atau pemilikan tanah. Maka, pasaran properti, yang sebelumnya sluggish, sekarang jadi promising." Selain itu, proyek pembenahan kota, di antaranya dalam pembuatan jalan-jalan baru, kabarnya ikut mempengaruhi kenaikan harga tanah-tanah di sekitarnya. Akhirnya terjadilah perdagangan tanah, apalagi bagi investor di bidang properti, tanah tetap merupakan komoditi. Salim Group yang dikendalikan oleh taipan Liem Sioe Liong, kabarnya, sudah menawarkan salah satu tanahnya (di seberang Gedung Bank of Tokyo Jalan Sudirman), seharga US$ 3.000/m2. Grup Salim sampai saat ini masih pemilik tanah terluas di Segi Tiga Emas.
Pekan-pekan ini harga semakin terlonjak keras. Harga itu diisukan, per meter tanah di sepanjang Jalan Sudirman paling tidak Rp 5 juta atau US$ 3.000, di Jalan Thamrin Rp 4 juta, di Jalan Gatot Subroto berkisar Rp 3 juta, dan di kawasan Kuningan Rp 2 juta. Semua itu tidak realistis. Berdasarkan perhitungan para ahli di bidang properti, harga-harga tersebut tidak layak alias kelewat tinggi. Yang layak untuk investasi properti adalah kalau harga di Jalan Sudirman maksimal Rp 2 juta, di Jalan Gatot Subroto paling mahal Rp 1,5 juta, dan di Kuningan berkisar Rp 500 ribu - Rp 1 juta. Dengan harga tanah semahal itu, dan perhitungan harga sewa rata-rata sekarang per meter persegi US$ 25 sampai US$ 30 tiap bulan, investasinya akan kembali dalam 12 tahun. Belum lagi diperhitungkan keengganan penyewa mengingat kawasan mahal tersebut tidak memiliki fasilitas telekomunikasi (telepon) dan parkir yang memadai. Kawasannya kelas satu, tapi fasilitas teleponnya kelas kambing, kata seorang penyewa sebuah ruangan di Chase Plaza. Maka, ada yang mengatakan, bila para pemilik tanah di kawasan Segi Tiga Emas hendak menjual hartanya itu dengan harga di atas kewajaran, tidak bakal ada investor yang bersedia membelinya.
Nah, dalam situasi begini muncul golongan pemain yang lain, yakni spekulan tanah. Yang termasuk dalam kategori spekulan adalah seseorang (atau sebuah perusahaan) pemegang izin prinsip dari Gubernur DKI atas sebuah kawasan, lalu menjual kawasan itu kepada pihak ketiga atau meminta pinjaman dari bank. Sebenarnya, pemegang izin prinsip harus lebih dahulu menggunakannya untuk membebaskan suatu kawasan. Setelah membebaskan sebanyak 75%, yang bersangkutan baru bisa memperoleh Surat Izin Penggunaan dan Peruntukan Tanah (SIPPT). Ada pula pemilik izin prinsip yang maju ke bank mencari pinjaman untuk membebaskan tanah yang dipilihnya. Jaminannya ya tanah itu. "Praktek seperti ini diharamkan," kata Ketua Badan Pertanahan Nasional (BPN), Soni Harsono. Yang mengherankan Soni, pihak bank ternyata juga bersedia memberikan pinjaman dengan cara begitu. Padahal, ancamannya besar. Misalnya, ketika pembebasan dilangsungkan, tidak semulus yang diperkirakan, gara-gara penduduk yang kena gusur memprotes ganti rugi. Akibatnya, duit pinjaman kocar-kacir.
Spekulan, calo, atau perantara jual beli tanah memang sulit dihindari oleh para developer. Menurut Ketua organisasi Pembangunan Daerah dan Keanggotaan REI, Drs. Enggartiasto Lukita, hampir tidak ada pembebasan tanah yang tanpa melibatkan spekulan. "Kalau toh developer tidak mau mempedulikan mereka, dan langsung bermusyawarah dengan rakyat pemilik tanah, maka bisa-bisa developer bersangkutan disengketakan oleh spekulan atau calo itu," ujar Enggartiasto. Ini tak lain karena spekulan sudah memiliki girik atau surat tanah, entah itu hak eigendom dari beberapa tanah, yang merupakan bagian dari kawasan yang hendak dibeli developer. Jika akhirnya masuk ke pengadilan gara-gara sengketa itu, maka tanah bersangkutan dinyatakan dalam keadaan status quo. Kalau sudah begitu, pihak developer tidak bisa apa-apa. Maka, jangan heran jika banyak yang lebih memilih bekerja sama dengan para calo atau spekulan atau, istilah populernya, mafia tanah. Daripada masuk pengadilan atau diganggu dalam bentuk lain, biasanya para developer memilih kompromi. Sebab jika proyek tertunda developer akan rugi waktu dan modal.
Pada kenyataannya banyak kawasan yang sejarah kepemilikannya simpang siur. Dari Segi Tiga Emas, yang banyak ganjalannya adalah tanah-tanah di Kuningan. Di antaranya menyangkut wilayah 132 hektare bekas milik keluarga Maora (tuan tanah Betawi). Akibat landreform, pemiliknya harus merelakan 126 hektare untuk diserahkan ke negara (dalam hal ini Pemda DKI). Keluarga Maora hanya berhak enam hektare, tapi tak pernah mendapatkan bukti tertulis, di mana persis lokasinya. Ketika ia membuat rumah di wilayah yang ia anggap miliknya, Maora diusir oleh Pemda DKI sampai berkali-kali, hingga berpindah-pindah dan akhirnya tersingkir entah ke mana dan meninggal. Demikian menurut sumber TEMPO di Kejaksaan Tinggi.
Untuk membebaskan dan membangun kawasan 126 hektare itu, pada 1970 Pemda DKI bekerja sama dengan Town & City Properties (TCP, milik bos Astra, William Soeryadjaya). "Kami cuma menyediakan duitnya," kata Setyo Gunawan, S.H. dari TCP. Pembebasannya dilakukan oleh otorita Kuningan, yang dibentuk Pemda DKI. Setelah berhasil menguasai 126 hektare itu, pihak TCP berkewajiban menyediakan 22 ha untuk Gelanggang Olahraga Soemantri Brodjonegoro, menyediakan tanah, dan membangun jalur Jalan Rasuna Said. "Jatah kami membangun jalur lambatnya saja," tutur Setyo.
Lantas TCP membangun pelbagai proyek, di antaranya kompleks perumahan mewah Kuningan Village. Dan ini disesuaikan dengan rencana kawasan Kuningan semula yang diperuntukkan bagi kantor-kantor kedutaan. Kalau menurut Rio Tambunan, bekas Kepala Dinas Tata Kota DKI (1969-1975), pemilik tanah terbanyak (ratusan hektare) di Kuningan sebenarnya H. Muchtar Sanusi. Melalui PT Sanusi United Builders, kawasan tersebut disiapkan untuk hunian para ahli asing yang bekerja di Pertamina, termasuk rencana membuat lapangan golf. Tapi akibat kemelut berkepanjangan, Sanusi dan pengusaha Yan Darmadi digabung dalam Town & City Properties. Rio tidak menjelaskan lebih jauh mengapa kemudian TCP pindah ke William Soeryadjaya.
Sampai sekarang, masih ada sejumlah lahan di Kuningan yang status hukumnya rawan. Tentu ini kawasan di luar TCP. Satu contoh adalah tanah seluas 65.105 m2 milik Benyamin Kartawidjaja, di Desa Kuningan Timur. Kecamatan Setiabudi (lihat juga Sertifikat Ganda, Proyek Fiktif, Calo Agresif). Menurut Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan Selatan, melalui surat 22 September 1979, Benyamin dianggap pemilik sah atas tanah hak guna bangunan itu. Pada 1982, Mendagri lewat Dirjen Agraria membatalkannya. "Sertifikal HGB Benyamin dianggap tidak ada, tanpa alasan yang bisa diterima secara yuridis," kata Budi Kelana, S.H., pembela Benyamin. Atas pembatalan itu, Benyamin menggugat ke Pengadilan Negeri. Tapi, ketika perkaranya belum tuntas, di tanahnya sudah berdiri antara lain Departemen Kesehatan, Kantor TCP, dan Gedung Pertamina. Kabarnya, tanpa uang ganti rugi, seperti yang diatur UU Agraria No. 1 1960.
Bicara tentang calo, kaum spekulan ini tak bisa berkutik ketika Plaza Indonesia hendak mengembangkan sayap sehingga karena itu Gedung Kedubes Uni Soviet dan Kedubes Australia harus berpisah dan lahannya. Bahkan pemindahan perwakilan Soviet ke Kuningan, sebegitu jauh, kedengarannya mulus. Pengembangan properti yang mulus tanpa perantara juga terjadi ketika PT Aditya Wira Bhakti (bersama Kajima Corp.) mendapatkan hak pengelolaan 20 hektare tanah di Senayan. Untuk itu, Badan Pengelola Gelora Senayan memperoleh imbalan berupa wisma atlet setaraf hotel bintang tiga, berkapasitas 2.500 orang, senilai US$ 23,5 juta Mohamad Cholid, Moebanoe Moera, Wahyu Muryadi, Linda Djalil, Muchlis H.J. (Jakarta)

1 comment:

  1. skr yg pegang lahan disana siapa.

    kl pegang shm dan mau dibangun 100 lti. yuk kt obrol'

    thx n salam.

    adi kwok . +6281317454768
    calo. jakarta.

    #FUNDER

    ReplyDelete