Thursday, March 10, 2011

Jejak Astra, Diikuti Dharmala, ...


09 September 1989

KAMPANYE "kasmaran" yang dilancarkan Marzuki Usman -- orang nomor satu Bapepam (Badan Pelaksana Pasar Modal) -- sudah tampak hasilnya. Masyarakat Jakarta bahkan sudah lebih dari kasmaran, alias demam. Hampir tiap saham yang dilepas di Bursa Efek Jakarta pasti diperebutkan. Main tubruk saham kian menjadi-jadi, hingga semakin banyak perusahaan yang merasa mantap. Mereka yakin, kalau go public, sahamnya bakal habis terjual. Perusahaan konglomerat, yang mengelola aset trilyunan rupiah, ternyata juga berminat memanfaatkan dana masyarakat lewat pasar modal. Mereka berusaha saling mendahului, mengetuk pintu Marzuki di Gedung Bursa. Tak mau mengecewakan mereka, ia lalu menyelesaikan berbagai prosedur masuk pasar modal, hanya dalam 10 hari.
Di antara konglomerat yang ikut berpacu, cukup menonjol beberapa raksasa yang masih dikendalikan sebagai bisnis keluarga. Contoh: kelompok Astra International Inc. dengan taipan William Soeryadjaya, kelompok Dharmala yang dikendalikan keluarga Suhargo Gondokusumo, kelompok Bakrie & Brothers dipimpin Aburizal Bakrie, dan grup Lippo yang diotaki Mochtar Riady. Bagi mereka, memasuki pasar modal bukanlah cuma mencari modal tambahan, tapi juga demi kelangsungan hidupnya. Mereka sadar, selama ini perusahaan keluarga hanya tahan satu generasi, lalu "tewas", antara lain karena tidak pernah menciptakan manajemen yang profesional. Tapi kalau mereka go public, proses profesionalisasi mau tak mau harus segera dilaksanakan. Mana ada perusahaan yang manajemennya tak profesional diizinkan masuk pasar modal?
Kelompok Astra International Inc., misalnya. Sampai sekarang Astra telah meluncurkan obligasi sebesar Rp 60 milyar dan saham PT United Tractors senilai Rp 19,5 milyar di BEJ. Sebelum itu, di luar negeri Astra pernah menerbitkan floating rate notes, sejenis obligasi dengan bunga mengambang sesuai dengan perkembangan pasar. Keinginan Om Willem, sebutan akrab bagi William Soeryadjaya, untuk masuk pasar modal, sudah lama terpikirkan. Apalagi setelah belajar dari melesetnya perhitungan Astra (1977). Waktu itu, stok traktor dan buldoser PT United Tractors senilai US$ 30 juta menumpuk di Cakung, Jakarta Timur. Bisnis real estate Om Willem di Kuningan, Jakarta Selatan, yang sedianya dijual kepada Pertamina, juga mandek. Maka, US$ 30 juta lagi terjepit di situ. Astra pun sesak napas. Sejak itulah Om Willem bertekad: Astra harus go public. Selain perlu dana buat investasi, utang jangka pendeknya sedapat mungkin dikurangi atau dikonversikan menjadi utang jangka panjang. Obligasi dan penjualan saham ke pasar modal adalah alternatif terbaik. Dan ketika obligasi Astra diterbitkan pertengahan tahun lalu, Om Willem berujar, "Emisi kali ini diharapkan bisa berlanjut dengan emisi-emisi berikutnya, baik obligasi maupun saham." United Tractors (UT), yang pernah disuntik dengan kredit sindikasi dari mancanegara pada 1983 sebesar US$ 45 juta, kini butuh tambahan dana lagi. Karena itu, UT menjual saham Rp 19,5 milyar di BEJ. Perusahaan yang didirikan pada 1972 ini sekarang sudah sehat, beraset Rp 284 milyar, tahun lalu mencatat omset Rp 304,5 milyar dengan laba bersih Rp 11 milyar. Tak heran kalau saham UT bisa oversubscribed 65.000%. "Setelah UT, masih tiga perusahaan lagi di bawah Astra Group yang akan go public," ujar Edwin Soeryadjaya, putra Om Willem yang sering diramalkan orang akan jadi putra mahkota di Astra. Kakak Edwin, Edward Soeryadjaya, lebih berkonsentrasi di Summa Group.
Keluarga Suhargo Gondokusumo (Go Ka Him) dengan kelompok Dharmala-nya, telah meluncurkan obligasi PT Dharmala Sakti Sejahtera, saham PT Asuransi Bina Dharma Arta, serta saham PT Maskapai Reasuransi Indonesia. Setelah ini, kabarnya, kelompok yang menjadi joki 80 perusahaan di dalam dan 30 lainnya di luar negeri itu masih akan meluncurkan saham dua perusahaan lagi. Yang satu dari agen perjalanan PT Bayu Buana Travel, satunya lagi dari pabrik karung PT Aster Jawa di Tangerang, Jawa Barat. Keluarga Gondokusumo punya tiga anak. Yang paling aktif adalah Hendro Gondokusumo dan Suyanto Gondokusumo. Menurut Wakil Direktur Keuangan, Micky Thio, kelompok Dharmala juga menyadari bahwa kelangsungan hidupnya bergantung pada bagaimana manajemen profesional dibentuk untuk memperkukuh operasi bisnis di mana pun. "Anak big boss kan cuma tiga orang, mana mungkin bisa mengontrol semua perusahaan," tambah Thio. Nah, kalau perusahaan itu go public, yang mengontrol semakin banyak, manajemen dituntut bekerja profesional dan tidak gampang sembrono. Dharmala kini sedang menguji konsep holding company pada divisi keuangannya, PT Dharmala Sakti Sejahtera (DSS). Asetnya kini Rp 500 milyar, lalu pada Februari berselang menerbitkan obligasi Rp 10 milyar. Dana yang terkumpul dipakai untuk merestrukturisasi utang jangka pendeknya menjadi utang jangka panjang (akhir Agustus 1988, utang jangka pendek DSS tercatat Rp 160 milyar).
Keluarga Bakrie, yang terkenal dengan industri pipanya, juga tidak berdiam diri. Mereka melepas saham PT Bakrie & Brothers Rp 22,8 milyar belum lama berselang. Ini merupakan saham gabungan dari PT Bakrie Pipe Industries, PT Bakrie Tosanjaya, PT Bakrie Corrugated Metal Industries, PT Jaya Harflex Indonesia, dan PT Trans Bakrie. Dana ini dibutuhkan BB untuk pengembangan dan reinvestasi. Selain itu, menurut Aburizal Bakrie, BB juga ingin mengamalkan wasiat almarhum Achmad Bakrie, yang berpesan agar sebagian keuntungan dibagi kepada masyarakat. Pesan itu diterjemahkan Aburizal Bakrie sebagai go public. Diakui oleh Ical -- nama akrab Aburizal -- kini BB semakin meninggalkan konsep bisnis one man show seperti yang dianut ayahnya. Pendistribusian wewenang semakin tampak, setelah Tanri Abeng diundang masuk menjadi joki yang dipercaya Ical. Jabatan Tanri di BB sebagai direktur pengelola, ternyata, membuat kelompok "pipa" ini semakin yakin akan kemampuannya. Niat Ical, 42 tahun, menjadi wirausahawan bisa lempang terlaksana setelah Tanri masuk ke sana. Setidaknya, proses profesionalisasi di BB berjalan terarah. Ical sebagai presdir berkewajiban mengarahkan perusahaan, sementara kedua adiknya, Nirwan Dermawan Bakrie dan Indra Usmansyah Bakrie, duduk sebagai wakil Ical. "Mereka tidak punya kewenangan khusus. Dan harus berfungsi sebagai wakil direktur saja," kata Ical kepada Linda Djalil dari TEMPO. Bagaimana Tanri? "Setelah kebijaksanaan perusahaan digariskan, nah . . . giliran Tanri deh yang pegang semua. Meskipun yaa. . ., saya sebagai presdir tetap bertanggung jawab secara hukum," kata Ical lebih lanjut sembari tertawa kecil. BB sampai sekarang telah membuka empat perusahaan di luar negeri, tersebar di Amerika Serikat, Jerman Barat, dan Hong Kong. "Investasi di luar negeri itu hanya perpanjangan tangan Indonesia di sana," ujarnya. Hanya 2% investasi di luar Indonesia. Kecil.
Di antara perusahaan Indonesia yang paling berani menembus bisnis di mancanegara adalah Lippo Group. Kelompok yang dibesarkan oleh Mochtar Riady (Lie Mo Tie), bankir yang pernah meraih gelar Banker of the Year (1984) dari majalah terbitan Hong Kong The Asian Finance, ini telah mengelola aset senilai US$ 3 milyar (sekitar Rp 5 trilyun) -- hanya dari industri perbankan. Dari Tahapan, Lippobank berhasil menyedot dana Rp 300 milyar, dan kini asetnya menggelembung jadi Rp 1 trilyun. Belum Lippo Bank California (dengan aset US$ 150 juta), The Hong Kong Chinese Bank (HK$ 4 milyar), Seng Heng Bank (HK$ 800 juta), Bank Central Asia (Rp 2,8 trilyun), Bank Bhumy Bahari (Rp 60 milyar), Bankers Trust Lippo (Rp 80 milyar), serta dua bank campuran BNP Lippo Bank dan Tokai Lippo Bank dengan masing-masing modal setor Rp 50 milyar. Dari awal, Mochtar memang menekuni industri perbankan dan keuangan. Di sektor keuangan, ia mengendalikan enam lembaga keuangan bukan bank (LKBB) dan enam perusahaan asuransi. Seluruhnya, ada 269 kantor bank dan LKBB Lippo Group yang tersebar di Asia dan Amerika Serikat. Selain itu Lippo juga berekspansi ke bidang industri, perdagangan, properti, pertambangan, tekstil, elektronik, garmen, suku cadang, data processing, dan jasa komputer. Lelaki kelahiran Batu, Malang, Jawa Timur, yang memperoleh gelar doctor honoris causa dari Golden Gate University ini menyadari bahwa tak mungkin ia mengelola bisnis sendirian. Tiga putranya, James Tjahaja Riady, Stephen Riady, dan Andrew Riady, sedikit demi sedikit diserahi wewenang untuk mengendalikan perusahaan-perusahaannya, sejak tiga tahun silam. Ketiganya mendapat pendidikan di luar negeri dan sejak September tahun silam dipercaya penuh untuk mengendalikan bisnis. "Hanya garis kebijaksanaan, dari saya. Juga penempatan manajer, masih saya yang menentukan," ujar Mochtar. Ia banyak merekrut profesional muda. Di Lippobank, misalnya, ada Roy Tirtadji, 42 tahun, dan Laksamana Sukardi, 32 tahun, yang menjabat direktur. Kedua orang itu adalah alumni Citibank. Setelah Lippo Pacific Finance masuk pasar modal, antara September dan Oktober, Lippo akan meluncurkan saham PT Multipolar, Lippo Life Insurance, Lippo Industrial Co., dan Lippobank. Banyak yang menduga, saham-saham Lippo bakal oversubscribed. Seperti kata Mochtar, "Saya ingin saham-saham Lippo menjadi blue chips. Dan itu yang mesti dipertahankan." Bechtiar Abdullah, Bambang Aji Setiaji, Sri Pudjiastuti

Sumber: Majalah Tempo


No comments:

Post a Comment