Monday, March 14, 2011

Anatomi Perusahaan Gajah


09 Desember 1989

KONGLOMERAT, kembali menjadi buah bibir. Tak kurang dari Menteri Keuangan J.B. Sumarlin, pekan lalu, terpaksa menjelaskan kehadiran konglomerat di Indonesia atas pertanyaan wakil rakyat di DPR. Dalam rapat kerja dengan komisi APBN, pekan lalu, Sumarlin menerangkan mulai dari definisi sampai dampak positif dan negatif konglomerat itu. Nampaknya, Menteri Sumarlin sengaja ingin menuntaskan berbagai isu pro-kontra yang berkembang sejak tiga bulan terakhir ini.
Namun, bersamaan dengan penjelasan Sumarlin di DPR, muncul pernyataan spektakuler soal konglomerat. Sumbernya adalah Christianto Wibisono, Direktur Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI). Christianto berbicara lengkap dengan data. Ia, dengan sebuah buku baru mengenai konglomerat yang baru selesai disusunnya, membeberkan betapa besarnya pengaruh konglomerat di Indonesia bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Bayangkan saja, 300 konglomerat yang dihimpun PDBI pada 1988 berhasil meraih total sales sekitar Rp 70 trilyun. Atau hampir 2,5 kali lipat dibandingkan dengan APBN 1988/89 yang hanya Rp 28,963 trilyun.
Kebesaran perusahaan gajah (demikian istilah Mensesneg Moerdiono untuk konglomerat), semakin tampak jelas bila dilihat asetnya. Menurut perhitungan PDBI, tahun lalu, aset para gajah ini telah mencapai Rp 48,7 trilyun. Sungguh, jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan aset total badan usaha milik negara (BUMN) yang hanya Rp 12,54 trilyun. Christianto, dalam buku itu, seolah menelanjangi keberadaan 300 konglomerat yang dipantaunya. Bukan hanya aset dan total penjualan yang dikupas. Tapi, juga jumlah perusahaan, nama pemilik, plus bidang-bidang usaha yang mereka masuki.
Peringkat pertama, menurut versi PDBI, adalah Grup Salim, milik Taipan Liem Sioe Liong. Dengan 233 perusahaannya yang bergerak di berbagai bidang usaha di dalam negeri dan 65 perusahaan lainnya yang tersebar di Hong Kong, Belanda, Amerika Serikat, Taiwan, dan ASEAN, grup Om Liem dicatat memiliki aset Rp 6,05 trilyun. Total penjualan sekitar Rp 6,2 trilyun pada 1988. Menyusul, setelah grup Salim, adalah Grup Astra-nya William Soeryadjaya. Om Willem -- demikian ia biasa dipanggil -- memiliki 235 perusahaan yang bergerak di bidang otomotif, perkebunan, perhotelan, peternakan, elektronik, dan sebagainya. Kekayaannya, pada 1988, Astra bertotal aset sekitar Rp 2 trilyun. Nah, setelah dua besar itu, baru menyusul raksasa-raksasa lainnya. Misalnya, Grup Sinar Mas yang dipimpin oleh Oei Ek Tjiong alias Eka Tjipta Widjaja, pabrik rokok Djarum, Gudang Garam, Lippo, Dharmala, Jan Dharmadi, Mantrust.
Secara rinci, PDBI membagi kelas konglomerat menjadi tiga bagian. Kelompok trilyunan, kelas Rp 500 milyar-Rp 1 trilyun, dan tingkat kurang dari setengah trilyun. Pada dasarnya, kata Christianto, para konglomerat itu tumbuh dengan mengembangkan sayap secara vertikal maupun horisontal. Diversifikasi secara vertikal, misalnya, dilakukan dengan membuka perusahaan-perusahaan yang bergerak dari hulu ke hilir. Seperti Eka Tjipta, selain memiliki perkebunan kelapa sawit, juga membangun pabrik minyak goreng. Sedangkan diversifikasi horisontal adalah perluasan yang dilakukan ke bidang usaha lain, yang tak memiliki hubungan produksi langsung dengan bidang usaha utama. Astra contohnya, yang membuat perkebunan dan bank. Padahal, usaha utamanya adalah industri otomotif. Atau pabrik rokok Djarum, yang akhirnya masuk ke bidang tekstil, televisi, dan mebel.
Mungkin, konglomerat yang melakukan diversifikasi secara horisontal bisa dianggap kurang membahayakan. Berbeda dengan yang vertikal. Konglomerat itu bisa menguasai industri dari hulu sampai hilir. Dengan semakin besarnya sayap para gajah itu, maka akan semakin tidak efisien dia bekerja. Akibatnya, "konsumenlah yang akan dirugikan, karena para konglomerat itu bisa seenaknya menentukan harga pasar," kata Christianto. Untuk mencegah dampak negatif itu, Chris memandang perlu adanya UU Anti Konglomerat. "Tapi, itu, mungkin perlu waktu panjang. Makanya, saya mengusulkan agar Indonesia menjiplak UU Anti Trust yang dimiliki oleh Amerika," ujarnya.
Memang, seperti diakui Menteri Sumarlin, sisi negatif konglomerat harus dihindari. Salah satunya, selain bisa menimbulkan monopoli, grup-grup besar ini bisa menggilas dan mematikan perusahaan-perusahaan kecil. Namun, kata Sumarlin, jangan lantas kita menyalahkan swasta. Sebab, konglomerat tidak hanya muncul dari kalangan itu, tapi juga dari kalangan BUMN dan koperasi. Krakatau Steel contohnya. Pabrik baja milik Pemerintah ini menguasai mulai dari industri hulu, hilir, hingga ke pemasarannya. Itulah salah satu sisi negatif konglomerat. "Makanya, untuk membantu pengusaha kecil, Pemerintah telah menginstruksikan BUMN menyisihkan sebagian keuntungannya untuk membantu golongan ekonomi lemah," ujarnya.
Demikian pula citra konglomerat swasta yang dinilainya tak selalu buruk. "Dengan skalanya yang besar, mereka bisa menyediakan lapangan kerja yang cukup banyak. Di samping, kalau efisien, konglomerat juga bisa menyediakan barang-barang dengan harga yang murah," kata Menteri. Itulah sebabnya, Aburizal Bakrie, Bos Grup Bakrie & Brothers, tak setuju kalau gerak konglomerat dibatasi. "Kalau begitu, deregulasi yang selama ini dirintis Pemerintah bisa jadi regulasi lagi dong," ujarnya. Bahkan, lebih dari itu, pembatasan gerak akan mengakibatkan perusahaan-perusahaan besar juga gulung tikar. "Pada akhirnya, ini akan menimbulkan pengangguran," katanya.
Suara senada dikemukakan oleh Hadisoesastro, Direktur CSIS. Menurut dia, selama tidak mematikan perusahaan yang sudah ada, "Konglomerat tidaklah berbahaya." Apalagi, kata Hadisoesastro, konglomerat di Indonesia, secara tidak sadar, tumbuh berkat dukungan dari Pemerintah melalui berbagai kebijaksanaan deregulasinya. Budi Kusumah, Yopie Hidayat, Bambang Aji, Tri Budianto Sukarno (Jakarta)

No comments:

Post a Comment