Sunday, March 20, 2011

Golden Key: Tender Di Tengah Pengusutan


12 Maret 1994

SETELAH satu bulan kasus Eddy Tansil bergulir, isu kredit macet akhirnya dibicarakan dalam sidang kabinet terbatas, Rabu pekan lalu. Pada pertemuan yang penting itu, Presiden Soeharto tampaknya bukan saja menaruh perhatian ekstra, tapi juga menggariskan beberapa petunjuk. Menurut Menteri Penerangan Harmoko, mengenai kredit macet dan kredit bermasalah di Bapindo, Presiden menegaskan bahwa pengusutan dan penyelidikan tetap harus dilanjutkan. Dan sepekan sebelumnya, Kepala Negara juga menyampaikan pesan tentang kredit macet kepada Menteri Negara Sekretaris Negara Moerdiono dan Jaksa Agung Singgih. Isi pesan itu -- seperti dikatakan oleh sebuah sumber TEMPO - ialah agar penanganan kredit macet diluruskan sedemikian rupa sesuai dengan kewenangan lembaga pemerintah (Departemen Keuangan, Bank Indonesia, Departemen Perindustrian, dan Kejaksaan Agung) masing-masing.
Harus diakui, kredit macet Eddy Tansil itu telah memancing reaksi di kalangan luas -- jadi, tak lagi beredar di kalangan dunia usaha dan perbankan saja. Isu tersebut juga telah membuat investor asing waswas. Kabarnya, ada yang menarik dana -- dalam jumlah besar -- dari pasar uang dan pasar modal, lalu menukarnya dengan dolar untuk dikirim ke luar (lihat Hari-Hari Lonjakan Dolar). Sementara itu, pabrik tekstil Kanindo milik Robby Tjahyadi nyaris terserempet gara-gara pernyataan seorang anggota FKP di DPR -- tentang kredit macet. Belum lagi rush penarikan dana dari Bank Harapan Sentosa di Bogor. Wajarlah bila para pengusaha sama-sama gusar.
"Kita harus menghindari munculnya isu-isu yang bersifat politis, yang dapat menimbulkan berbagai potensi konflik dan disintegrasi," kata Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Aburizal Bakrie. Menurut Aburizal, kredit macet tanpa unsur kriminalitas -- misalnya karena konjungtur ekonomi -- hendaknya diselesaikan secara lain. Jadi, tak perlu dibawa ke kejaksaan. Sebagian bankir pun tak mengerti peran instansi-instansi pemerintah dalam menangani kredit macet. Menurut seorang bankir swasta, urusan kredit hendaknya dikembalikan kepada direksi bank yang bersangkutan (Bapindo) dan Bank Indonesia. BI memang bertugas mengawasi dan membina kredit macet dalam perbankan.
Kasus Bapindo sendiri sebenarnya sudah ditangani BI serta direksi bank-bank pemerintah sejak enam bulan lalu. Namun, upaya itu terhenti ketika kasus ini diledakkan di DPR oleh Arnold Baramuli. Selain cara-cara penanggulangan kredit Eddy Tansil dipersoalkan orang, penguasaan aset Golden Key Group serta rekening milik Eddy Tansil -- yang tidak menjadi agunan kredit Bapindo -- juga sempat merisaukan kalangan bisnis. Soalnya sederhana: Eddy Tansil belum diadili, tapi aset-asetnya (Golden Key) sudah akan dijual dalam tender terbuka. Benar, bos Golden Key, Eddy Tansil, sudah dapat diperkirakan tak akan mampu melunasi utangnya di Bapindo. Masalahnya, kelima proyek Golden Key yang dijaminkan untuk kredit US$ 430 juta (dengan bunga menjadi lebih dari Rp 900 miliar) mestinya sudah berproduksi sejak tahun lalu sehingga ia bisa mencicil utangnya. Ternyata, pembangunan proyek-proyek Golden Key itu jauh dari rampung.
Kalaupun pabriknya berdiri, proyek itu diperkirakan akan rugi karena anggaran pembangunannya telah membengkak (cost over-run) hingga dua kali lipat. Anggaran untuk proyek PT Dinamika Erajaya telah digelembungkan dari Rp 211 miliar menjadi Rp 420 miliar. Proyek PT Graha Swakarsa Prima diperbesar dari Rp 205 miliar menjadi Rp 504 miliar. Lalu, biaya proyek PT Hamparan Rejeki juga dibengkakkan dua kali jadi Rp 428 miliar. Kini, untuk mengatasi kredit yang sudah macet tersebut, Departemen Keuangan dan BI kabarnya akan menempuh pola yang mirip dengan pola penyelesaian krisis Bank Summa. Tidak sama betul, memang. Ketika Bank Summa dilanda krisis karena kesalahan manajemen, selain aset Bank Summa, aset-aset di luar bank itu, seperti saham Astra milik keluarga William Soeryadjaya, juga dijual.
Untuk menutup uang Bapindo yang amblas di Golden Key, mungkin sekali aset Golden Key dijual, berikut kekayaan Eddy Tansil, serta mungkin juga kekayaan pejabat Bapindo. Aset Golden Key yang kini dikuasai Departemen Keuangan adalah PT Graha Swakarsa Prima, PT Hamparan Rejeki, dan PT Pusaka Warna Poly Prophylene. Menteri Keuangan yakin bahwa ketiga proyek itu akan laku kalau dijual. "Jangan tanya harganya. Pokoknya, akan laku," Mar'ie menandaskan. Mar'ie agaknya tak berlebihan. Humpuss Group milik Hutomo Mandala Putera telah menyatakan minatnya membeli PT Hamparan Rejeki, yakni anak perusahaan Golden Key yang telah membangun pabrik bahan baku benang (serat akrilik). "Sebagai pengusaha, kalau ditawarkan dengan yang baik, kami berminat," kata salah seorang direktur Humpuss, Bernardino M. Vega. Namun, ditambahkannya, hal itu masih dipertimbangkan lebih jauh. Soalnya, ada atau tidak industri hilir yang menjadi pasar produk Hamparan Rejeki.
Mungkin karena yakin bisa laku, Menteri Keuangan berucap tentang tender terbuka untuk aset Golden Key. Namun, tender terbuka itu barangkali akan kurang diminati pengusaha. "Kalau tender terbuka, urusannya akan lama dan harga belum tentu yang paling tinggi," kata seorang pengurus Kadin. Menurut dia, Kadin siap membentuk suatu konsorsium untuk mengumpulkan uang guna membeli proyek Golden Key yang macet. Usul ini, katanya, sudah diajukan kepada Menteri Keuangan. "Kalau Pemerintah setuju, Kadin siap membentuk konsorsium dan menyelesaikan pembelian dalam 1-2 bulan," kata orang Kadin tadi.
Kalau ada pengusaha nonpribumi ingin ikut serta, partisipasinya tak akan ditolak. Gagasan serupa juga timbul dari kalangan pengusaha nonpri. "Tapi harus bekerja sama dengan pengusaha pribumi dan BUMN," kata seorang bankir keturunan Cina. Kalau konsorsium pribumi saja yang mengambil oper, kalangan pengusaha nonpri khawatir akan timbul kesan, pengusaha nonpri (Eddy Tansil) yang makan, lalu pengusaha pribumi yang harus cuci piring.
Tapi seorang pengamat perbankan, Anwar Nasution, pesimistis konsorsium dapat menyelesaikan kasus kredit macet. "Terus terang saya tertawa mendengar ide itu," kata Anwar. Ia curiga, kalau masalahnya diserahkan ke konsorsium, ujung-ujungnya mereka akan minta kredit kepada bank pemerintah. Jadi, bisa menimbulkan masalah baru, yang "belum jelas juntrungannya." Rencana mengalihkan proyek Golden Key kepada BUMN juga dianggap aneh oleh Anwar Nasution. "Itu akan sama seperti kasus proyek baja canai dingin CRMI, yang rugi karena sudah di mark up oleh Salim Group, lalu dijual kepada PT Krakatau Steel," Anwar menambahkan. Menurut Anwar, kalau proyek Golden Key ternyata tidak layak, lebih baik dicoret dan dibukukan sebagai kerugian.
"Menurut UU Kepailitan, Bapindo mestinya sudah bangkrut. Kalau mau dipertahankan, bank ini perlu disuntik modal baru. Kalau tidak, nyatakan bangkrut atau digabungkan (merger) dengan bank lain," ujar Anwar. Lain halnya seorang bankir swasta yang berpendapat Bapindo tak perlu bangkrut. Kalau mau menolong, BI kan punya cadangan devisa. "Kasih saja pinjaman US$ 1 miliar (sekitar Rp 2 triliun) dengan bunga rendah. Katakanlah, bunga 4% per tahun, dan Bapindo menjual kredit dengan bunga 18% per tahun, maka akan untung 14% atau Rp 280 miliar setahun. Lima tahun sudah bisa menutup kerugian Rp 1,3 triliun itu," kata bankir yang tak mau disebut namanya itu. "Cara begitu tidak benar. Kredit macet itu tetap harus dikejar," ujar seorang bankir pemerintah pula. Hanya saja, apakah kredit itu dapat ditutup dari aset Golden Key plus aset dan rekening Eddy Tansil?
Menurut Anwar Nasution, kalau terkumpul 25%, sudah bagus. "Di Jepang, yang mapan perangkat hukumnya, kredit macet yang bisa diselamatkan rata-rata 40%. Sisanya hilang tak keruan. Saya tak yakin, di tangan kejaksaan bisa mendapat 25%," kata Anwar. Penjualan itu tentu baru dapat dilakukan jika pengadilan bisa membuktikan Eddy memang bersalah. Sementara itu, juru bicara Kejaksaan Agung, Dr. Suparman, S.H. M.H., telah memastikan kasus Eddy Tansil sebagai pidana murni. Suparman menambahkan, sekarang yang ditahan baru dua orang (Eddy Tansil dan Wakil Kepala Kantor Bapindo Cabang Jakarta). Kalau dari hasil pemeriksaan terdapat sepuluh terdakwa atau lebih, semuanya tentu akan ditahan juga. Tapi, apakah mereka juga harus mengganti semua kerugian Bapindo, pengadilanlah yang nanti memutuskan.
Prosesnya mudah- mudahan tak akan berlarut-larut seperti kasus Endang Widjaya, bos PT Jawa Building (developer kompleks Pluit), yang diadili lebih dari lima tahun gara-gara membobol Rp 23 miliar dari Bank Bumi Daya (BBD). Sekadar perbandingan, kasus Endang Widjaya telah merontokkan 13 pejabat teras DKI, direksi BBD, serta aparat pajak yang telah menerima hadiah dari Endang Widjaya. Bukan mustahil, sejarah BBD itu kelak berulang di Bapindo. Max Wangkar, Bambang Aji, dan Iwan Qodar Himawan

No comments:

Post a Comment