Monday, March 14, 2011

Mereka Menggebu Ke Daerah


21 Juli 1990

DI Mataram, Lombok, sebidang tanah sudah dipagari spanduk bertuliskan: "Di sini akan didirikan Bank Danamon". Pengamat yang tekun akan segera mengetahui, inilah langkah lanjut sesudah Danamon membuka cabang di Dili (Timor Timur) dan Irian Jaya. Sedemikian pesatnya ekspansi Danamon hingga tampaknya hanya Lippobank dan BRI yang bisa menandingi bank milik Usman Atmadjaja itu. Dalam skala yang lebih kecil dan tidak mencolok, langkah ekspansi Danamon banyak diikuti oleh bank swasta lainnya, termasuk yang berada di papan menengah dan bawah.
Ekspansi yang menggebu ternyata merupakan strategi jangka pendek yang banyak dianut oleh para bankir di negeri ini, terutama sejak Pakto diberlakukan, Oktober 1988. Pakto sudah bagaikan pintu air yang tiba-tiba diangkat, sehingga memberi keleluasaan bagi para pemilik modal untuk mendirikan sebanyak mungkin bank baru. Kelonggaran dalam izin mendirikan bank juga dimanfaatkan oleh grup-grup besar, yang selama ini beroperasi tanpa memiliki bank sendiri. Berturut-turut muncul Risjad Salim International Bank, Nusa Bank (milik grup Bakrie), Jaya Bank dari grup Pembangunan Jaya, dan Modern Bank. Raja rotan Bob Hasan, selain membeli saham Bank Umum Nasional, juga mendirikan beberapa BPR (bank perkreditan rakyat) yang tersebar di Jawa. Juga tak ketinggalan, beberapa pengusaha raksasa daerah seperti Gudang Garam, Sampoerna, dan Ometraco.
Tak kurang menarik adalah ekspansi yang dilakukan papan bawah, seperti yang terlihat di Yogyakarta belum lama ini. Seorang yang tadinya mengelola radio siaran tiba-tiba mendirikan Bank Perkreditan Rakyat Redjo Bhawono (BPR-RB). Bank yang beroperasi sejak Februari lalu dengan modal cuma Rp 50 juta itu ternyata berkembang pesat. Menurut Direktur BPR-RB, Wiwoho P.S., 58 tahun, bank yang berkantor di Gang Pandeka Sakti, Jalan Kaliurang Km 8, Yogya, kini sudah memiliki aset Rp 122 juta. Adapun nasabah BPR-RB yang sudah mengambil kredit pada akhir Juni 1990 berjumlah 189 orang, yang rata-rata meminjam Rp 500.000. BPR-RB menerima simpanan minimal Rp 1.000 dan memberikan bunga 1,25% per bulan. Nasabah yang terjaring berjumlah 225 orang, yang menabung rata-rata Rp 45.000. "Nasabah kami adalah kalangan menengah ke bawah yang umumnya bakul (pedagang) kecil. Mana mereka mau masuk bank besar yang dilayani orang berdasi?" kata Dirut BPR-RB, A. Yudharmanto. Itulah barangkali penyebab utama, mengapa BPR-RB sulit mengumpulkan deposito. Sampai pertengahan Juli, bank itu baru bisa mengumpulkan deposito sekitar Rp 50 juta dari 17 orang.
Tapi bahwa BPR-RB bisa tumbuh, jelas hal itu membuktikan bahwa masih ada lahan yang bisa digarap oleh "putra daerah", kendati pemodal besar dari Jakarta telah dengan agresif menyerbu ke seantero provinsi. Dan yang berada paling depan adalah Lippobank serta Bank Danamon. Lippobank, sebelum Pakto, cuma mempunyai 17 cabang (waktu itu masih bernama Bank Perniagaan Indonesia). Setelah BPI merger dengan Bank Umum Asia (BUA) dan jadi Lippobank, bank yang diotaki Mochtar Riady ini langsung melakukan ekspansi gencar, yang memuncak pada enam bulan terakhir ini. Direksi Lippobank pekan lalu mengungkapkan, cabang mereka sudah mencapai 140 buah. Presdir Lippobank, James Riady, menyatakan bahwa dalam gerak ekspansi itu, Lippo tidak main pancang saja. "Kami sebenarnya hanya mengikuti gerak perusahaan-perusahaan nasabah kami. Ke mana gerak usaha mereka, ke situ kami ikut membuka cabang. Bila semula di Jakarta, lalu ke Citeureup, kami ikut. Begitu pula nasabah di Surabaya, kalau memperluas usaha ke Malang, kami ke situ juga," tutur James.
Summa Bank, milik Edward Soeryadjaya yang belum lama ini mengikat kerja sama dengan NU, memperluas jaringannya dari 15 menjadi 36 cabang. Bahkan, akhir tahun ini, jumlah cabangnya akan ditingkatkan sampai 50. Ini diungkapkan oleh seorang direktur Bank Summa, Aninda Sarjana. Dan semua itu tentu memerlukan investasi yang tak sedikit, apalagi setiap cabang ditargetkan memiliki aset Rp 35 milyar. Melebihi Lippo dan Summa adalah Danamon. Sebelum Pakto, Danamon baru memiliki lima cabang. Tapi Juli ini -- berarti kurang dari dua tahun -- bank itu sudah mekar dengan 90 cabang. Bahkan lahan yang diperkirakan kurang subur, seperti Tim-Tim dan Ir-Ja, juga diterjuni oleh Danamon. Menurut Jusuf Arbianto, Direktur Pelaksana Bank Danamon, pembukaan cabang di dua ibu kota provinsi termuda itu lebih bersifat promosi. "Uang di sana tidak kami sedot ke pusat, tapi justru kami membawa kue ke situ," katanya, sedikit berpromosi. Meski Danamon juga berupaya mengajak investor dari Jawa ke daerah, Jusuf tak membantah bahwa cabang Danamon juga menyedot nasabah bank setempat, baik swasta maupun pemerintah. Tapi diakuinya juga bahwa nasabah Danamon sendiri bisa kena sedot bank lain. Ketika Danamon baru masuk ke Palembang, misalnya, banyak pengusaha setempat menjadi nasabah. Tapi, setelah Lippo dan BCA menyerbu ke sana, tak sedikit nasabah Danamon yang lari.
Banyak peminat, memang, yang mengerubuti Palembang. Melihat prospeknya yang cerah sebagai salah satu pusat industri yang baru, Bank Duta juga bergegas ke sana -- bahkan sekaligus membuka dua cabang. "Nasabah kami cukup banyak di sini. "Antara peminjam dan penabung, lebih banyak penabungnya," kata Azwir, pimpinan salah satu cabang Bank Duta di Palembang, tanpa merinci lebih jauh. "Nasabah di sini banyak. Pangsa pasar sangat luas," kata Dirut BPD (Bank Pembangunan Daerah) Sumatera Selatan, H.M. Daud Nadjari, ketika ditanya pendapatnya tentang ekspansi bank-bank dari Jakarta. Bank yang kini mempunyai cabang di delapan kabupaten, satu kota madya, dan satu kota administratif ini akhir bulan lalu memiliki 4.500 debitur, 3.500 giro, dan 5.000 deposan. Bank-bank cabang dari Jakarta dianggap Daud sebagai motivator bagi bank-bank daerah untuk meningkatkan pelayanan. Itu sebabnya, BPD Sum-Sel bergegas menata interior kantornya, menempatkan personel yang terampil, dan memperkenalkan produk-produk modern, antara lain Simpeda (Simpanan Pembangunan Daerah).
Invasi bank papan atas dari Jakarta ternyata tak sampai menggencet bank lokal di Surabaya. Ambil contoh Bank Karman (singkatan Bank Karya Aman), yang berkantor pusat di Jalan Kembang Jepun. Kini asetnya sudah mencapai Rp 111 milyar. Pemekaran Bank Karman terjadi sejak Pakto -- kini sudah punya 10 cabang di Jawa Timur, plus satu cabang di Jakarta. Akhir bulan lalu, presdirnya, Tjahjono Goenadi, S.H., pergi ke Bali untuk mempersiapkan pembukaan cabang di Singaraja. G.N. Okayana, Direktur Bank Pasar Pelita Kentjana di Denpasar, yang juga menjabat Sekretaris Perkumpulan BPR Bali, melihat betapa invasi bank-bank besar dan Jakarta telah membawa dampak positif. "Kehadiran mereka memaksa kami memperbaiki diri biar tetap hidup," kata Okayana.
Di pihak lain, deregulasi lewat Pakto dirasakan mempersempit ruang gerak bank pemerintah. Ini dikatakan Dirut BRI (Bank Rakyat Indonesia) Kamardy Arief. Pemekaran dari Jakarta ke daerah, serta lahirnya bank-bank baru di lokasi yang sama, menyebabkan pangsa pasar BRI tergerogoti. Hal itu terlihat pada jumlah simpanan (titipan dana masyarakat di bank). Sebelum Pakto, BRI menguasai 15,04% pangsa simpanan. Tapi pada akhir 1989, pangsa simpanan BRI tinggal 12,64%. Kamardy berpendapat, hal itu wajar sebagai dampak Pakto. Yang penting, "Prinsip kami BRI tidak boleh merugi," tuturnya tegas. BRI memang masih terus meningkatkan pengumpulan dana masyarakat, hanya laju pertumbuhannya menyusut. Tahun 1988, titipan dana di BRI masih bertambah Rp 1.380 milyar atau meningkat 44,66% dibandingkan tahun sebelumnya. Tapi setahun kemudian (1989), kenaikan itu hanya Rp 1.363 milyar atau 30%. Padahal, BRI tak kurang gencar berekspansi. Dalam setahun setelah Pakto, BRI berhasil menambah 180 unit desa, hingga seluruhnya menjadi 3.621 unit. Jumlah itu masih dua kali lebih banyak dibanding Danamon, yang mencatat 90 cabang pada kurun waktu yang sama. Yang agak sulit diukur adalah kenaikan minat menabung orang daerah, suatu hal yang juga merupakan tujuan utama Pakto. Max Wangkar dan Bambang Aji

No comments:

Post a Comment