Thursday, March 10, 2011

Patriot Tanpa Senjata


22 Agustus 1987

MUSIM lewat, tahun bertukar, 17 Agustus datang lagi. Perayaan pun bergerak. Juga kenangan, juga perasaan. Prosesi beredar, sampai ke tepi-tepi kampung. Ada yang menyanyikan lagu Syukur dan bulu roma berdiri dan mata jadi basah. Orang-orang tua membayangkan, apa jadinya seandainya bangsa ini masih diinjak orang putih dari Negeri Belanda ("Mungkin kita akan seperti Afrika Selatan," seseorang berkata). Yang lain mengingat mereka yang terbunuh dalam perang tiga abad yang sengit untuk sebuah kemerdekaan. Sampai 17 Agustus 1945 itu tiba, juga setelah itu: ketika kemerdekaan itu dipertahankan di antara pasukan-pasukan gerilya dan rombongan-rombongan perundingan.
Dengan pengalaman yang berbeda, dan sudut pandang yang tak selalu sama, inilah pendapat sejumlah orang ketika proklamasi kemerdekaan diperingati pekan lalu:
CHRISTINE HAKIM, 31, artis film, pemeran Cut Nyak Dien. Pemegang lima piala Citra. "Saya selalu merenung setiap menyaksikan perayaan hari itu. Sekadar ramai-ramai dengan tujuh belas kali dentuman meriam? Apa arti perayaan itu bagi generasi saya, yang tak mengalami perang kemerdekaan? Ketika melakonkan Pahlawan Cut Nyak Dien, saya menyaksikan sendiri betapa beratnya medan hutan di Aceh Barat dan Selatan. Bulu roma saya berdiri. Terbayang di mata bagaimana Cut Nyak Dien bisa bertahan enam tahun di hutan yang ganas itu untuk menebus kemerdekaannya. Kalau kita tak dapat menghargai yang seperti itu, kita berkhianat. Setelah mempelajari pahlawan wanita Aceh itu, keyakinan saya agar konsisten dan konsekuen dalam hidup, bertambah. Saya harus berani lapar, saya harus berani sakit.
ABURIZAL BAKRIE, 41, Wakil Presiden Direktur PT Bakrie Brothers, sebuah perusahaan terkemuka di Jakarta. Yang mesti dilakukan pada masa sekarang, bagaimana kita ikut mencari jalan keluar dari kesulitan yang dihadapi bangsa tanpa merugikan perusahaan. Bentuknya bisa beragam. Misalnya dalam pemakaian tenaga ahli asing. Banyak pengusaha yang lebih suka memakai tenaga asing dengan alasan: sekalipun dibayar lebih mahal, kerjanya efisien. Saat ini kami punya 10.000 pegawai dengan cuma lima tenaga asing. Menurut saya, adalah tindakan yang patriotik kalau saya berhasil memperjuangkan tempat kerja bagi orang Indonesia, meskipun posisi modal saya 30: 70 atau 40: 60, lebih besar modal asingnya. Di perkebunan karet PT USP di Sumatera Utara, misalnya, di antara sekian ribu karyawan, cuma ada satu tenaga asing. Padahal, di perusahaan itu modal saya lebih kecil dari si asing. Di samping itu, kita tak usah ikut-ikutan menyimpan uang di luar negeri dalam keadaan negara kekurangan devisa. Simpanlah di dalam negeri.
KWIK KIAN GIE, 52, Ketua Dewan Direktur Institut Manajemen Prasetiya Mulya dan direktur berbagai perusahaan. Bekas juru kampanye PDI. Buat apa mengubah nama? Saya yakin benar itu tak ada sangkut-pautnya dengan rasa cinta terhadap bangsa. Banyak teman saya tak mengubah nama tapi cintanya terhadap negara ini benar-benar. Tiga anak saya namanya Kwik Ing Hie, Kwik Mu Lan, dan Kwik Ing Lan. Saya berusaha keras agar mereka memiliki rasa kebangsaan yang besar dan murni. Itu ditumbuhkan dengan meyakinkan mereka dari sekarang bahwa sebagai WNI keturunan mereka akan menghadapi masalah jika dewasa kelak. Sekarang pun sudah ada masalah: Ada teman sebaya yang sering menggoda mereka dengan olok-olok "anak Cina". Di kalangan pengusaha masih perlu ditingkatkan rasa senasib sepenanggungan serta rasa kebersamaan. Agar kita dapat bersaing dengan negara lain. Para pelaku ekonomi kita cenderung mengabaikan patriotisme, karena itu dianggap tak relevan. Padahal, bangsa yang sudah lama merdeka, malah tak pernah dijajah, berkalikali memperlihatkan patriotisme dalam ekonomi. Lihat orang Eropa ketika terkena oil shock. Secara sukarela mereka meredupkan lampu dan memperkecil alat pendingin. Untuk menghemat energi.
SUTJIATI EKA TJANDRASARI, 20, mahasiswi, Putri Remaja 1985, dan pemenang lomba karya ilmiah remaja LIPI, 1984. Baru sepekan saya pulang dari London ikut pendidikan musim panas, satu bulan. Sebelumnya saya ke Jerman Barat menemani Papa memeriksakan kesehatan. Papa sakit jantung dan ginjal, setiap tahun dia ke sana. Di London teman kos ada dua gadis Inggris dan seorang gadis Spanyol. Saya heran, mereka seusia dengan saya tapi telah mempunyai rencana yang pasti untuk masa depan. Sedang saya selalu masih goyah. Eropa memang idaman saya untuk melanjutkan studi. Kota-kotanya memesonakan, cowoknya ganteng-ganteng. Tapi saya tak pernah membayangkan pacaran dengan cowok bule. Saya kira nilai-nilai yang kita anut nggak nyambung dan akan menimbulkan problem keluarga. Hubungan kekerabatan sulit, pergaulan mereka terlalu bebas, dan tak mau membantu orang tua. Nggak tahu mengapa, saya memang begitu. Saya juga tak ingin bekerja di luar negeri. Inginnya di Aceh, atau Manado, pokoknya masih negeri sendiri.

Sumber: Majalah Tempo

No comments:

Post a Comment