Thursday, March 10, 2011

Teknik Berkelit Gaya Bakrie


27 Februari 1988

BERBICARA tentang kelompok usaha Bakrie & Brothers, maka yang pertama-tama terasa penting bukan kerindangannya, tapi ketahanannya. Inilah perusahaan yang mulai dari bawah, berkembang dengan kekuatan sendiri dan tidak menjadi hebat dalam tempo sehari. Ketika Achmad Bakrie yang berada di belakang kisah sukses itu pergi untuk selamanya dua pekan lalu, dunia usaha seperti terpanggil untuk menyatakan hormat padanya. Tapi pada saat yang sama, orang bertanya-tanya bagaimana setelah Bakrie Tua juga sering dipanggil Atuk - pergi. Bisakah mereka bertahan? Atau, mungkinkah BB terpecah karena saham?
"Sedikit pun tidak akan ada yang berubah, sebab semuanya sudah diperhitungkan Ayah sejak tiga tahun lalu," kata Aburizal Bakrie, alias Ical, Bakrie Muda yang duduk sebagai Presiden Direktur BB sejak 1 Januari 1988. Seperti menyadari keterbatasan usia, Atuk, sejak 1985, sudah menata manajemen baru. Sebelumnya tiap perusahaan yang tergabung grup BB melakukan manajemen sendiri, tapi kini tidak lagi. "Bakrie Pipe Industries dulu kegiatannya mulai dari pembelian bahan baku, produksi, hingga pemasaran. Tapi terhitung Januari lalu, mereka hanya bertugas memproduksi, sedangkan pembelian dan pemasarannya ditangani oleh bagian perdagangan BB," ujar Ical. Pola ini tentu ada manfaatnya. Selain menjadi lebih efisien dan mudah dikontrol, biaya operasi bisa dihemat.
Tidak hanya itu. Achmad bahkan sudah lebih awal merencanakan masa pensiunnya, sehingga ketika wafat, kedudukannya sudah sebagai pensiunan. Dengan demikian, segala sesuatu telah diatur dengan baik, hingga pergantian pimpinan tidak sampai berakibat buruk pada perusahaan. Begitu pula soal saham. "Masih seperti dulu-dulu, kami akan tetap mempertahankan saham atas nama keluarga. Artinya, tidak akan ada pembagian saham, kendati Ayah sudah tiada," begitu Ical menjelaskan. Alasannya: untuk mempertahankan kekompakan BB, yang selama ini menjadi modal kepercayaan dalam dunia bisnis. Dan jangan kaget. Di kalangan BB jangankan saham, yang namanya dividen pun tak pernah dibagikan. "Semua keuntungan digunakan untuk reinvest," kata Ical.
Melihat sepak terjangnya dalam dua dasawarsa belakangan, tampak jelas BB merupakan grup yang selalu mencari peluang-peluang baru. Buktinya kini, meskipun masih dalam tahap rencana, BB bermaksud memperluas perkebunannya yang sekarang telah mencapai 25 ribu hektar, plus akan melakukan investasi baru di bidang industri. "Tapi maaf, belum bisa saya katakan sekarang, akan menanam apa, dan masuk ke industri mana," tutur Ical. Yang pasti, dari 16 perusahaan yang kini dikelola, investasinya telah mencapai sekitar Rp 150 milyar. Angka ini berubah secara mencolok, setelah pada 1986 BB mengambil alih Perkebunan Karet Uni Royal Inc.-AS, dan PMA Australia, PT James Hardie Indonesia (JHI), dua tahun lalu. Dari total investasi, sektor perkebunanlah sekarang yang terbesar. Tapi itu tak akan bertahan lama. Kelak kalau pabrik pipa tanpa las sudah jadi, porsi investasi kembali akan didominasi oleh sektor industri.
Di samping diversifikasi usaha, keluarga Bakrie juga cukup ulet untuk menghidupkan kembali perusahaan-perusahaan yang nyaris sekarat. Contohnya, ya JHI tadi. Sebelum diambil alih, perusahaan ini selama tiga tahun terus-menerus rugi. Tapi setelah ditangani BB, tahun pertama, 1987, omsetnya langsung naik sekitar 25% menjadi Rp 12 milyar, dengan laba Rp 700 juta. Begitu pula Uni Royal. "Ini semua tergantung manajemen," kata Aburizal merendah. Dan ternyata tidak hanya manajemen. Faktor-faktor luar pun turut menentukan berhasil atau tidaknya sebuah perusahaan. Tidak terkecuali BB. Ical mengakui, beberapa perusahaan pipanya tertimpa rugi tahun lalu. Ketika itu Jepang memotong produksi bahan baku pipa sebanyak 20 juta ton, hingga pasar internasional goyah. BB, sebagai salah satu konsumennya, kelabakan karena menipisnya suplai berikut naiknya harga bahan baku hingga 50%. Akibatnya, produksi terus menurun. Tahun 1985 produksi bisa mencapai 80% dari kapasitas yang 100 ribu ton, tapi 1986 turun menjadi hanya 45 ribu ton. Dan tahun lalu produksinya hanya 35 ribu ton. Begitu pula PT Rasikomp Nusantara, yang merakit komputer, merugi karena masih ada teknologi yang belum terpecahkan. Padahal, sudah sejak empat tahun lalu Rasikomp berhasil mengalahkan saingannya dari Mitsubishi (Jepang) dan CIT-Alcatel (Prancis), dalam merebut perakitan komputer untuk jalan tol. "Di dua bidang ini, kami akui, tahun lalu BB merugi," kata Aburizal.
Itulah sebabnya, untuk tahun ini, ia tidak berani melakukan proyeksi produksi pipa yang berlebihan. "Kalau bisa berproduksi 60% dari kapasitas saja, sudah bagus," ujarnya. Lagi ini satu keuntungan dari diversifikasi usaha: BB punya pendukung dari sektor agribisnis. Jadi, kendati industri pipanya merugi, di sektor agribisnis BB melaba cukup besar. Hanya saja Aburizal tidak menyebutkan angka rupiahnya. Menurut Ical, omset yang dicapai tahun lalu mencapai sekitar Rp 170 milyar. Dari angka itu 4% merupakan laba sebelum pajak. "Kami yakin sektor agribisnis punya prospek yang baik." Lho, bukankah harga karet terus merosot? "Itu betul, tapi saya kira sifatnya hanya untuk sementara. Yang jelas, kebutuhan dunia akan karet alam tetap ada," tuturnya yakin. Apalagi Malaysia dan Muangthai, dua pesaing kuat karet Indonesia, tak mungkin lagi memperluas perkebunannya. Ini estimasi yang tepat, memang.
Dan dibenarkan oleh Harry Tanugraha, direktur eksekutif Gabungan Pengusaha Eksportir Karet Indonesia. Bagaimanapun jatuhnya harga karet, pengusaha tidak akan merugi. "Paling-paling untungnya saja yang berkurang," ujarnya. Apalagi Perkebunan Uni Royal, yang sudah lama terkenal sebagai perkebunan yang paling produktif (minimal menghasilkan 1,5 ton per tahun/hektar). Di samping menghasilkan karet berkualitas tinggi, harganya pun lebih tinggi (di atas satu dolar per kilogram). Padahal, biaya produksi untuk setiap kilogram karet hanya berkisar antara Rp 750,00 dan Rp 850,00/ kilo. "Jadi, pilihan Bakrie atas Uni Royal tepat sekali," kata Harry.
Namun, optimisme Ical tidak hanya terbatas di sektor karet. Diperhitungkannya, tahun ini industri pipanya akan naik juga. Sehingga ia berani memproyeksikan, omset total BB akan melonjak menjadi Rp 200 milyar. Ini bukan sekadar dugaan kosong, sebab kalau saja pasar menyediakan bahan baku yang cukup, BB akan bisa memenuhi permintaan pipa dari Amerika. "Pokoknya, kami tidak akan mengubah strategi, tetap bergerak di bidang industri dan perdagangan dengan dukungan agribisnis," kata Aburizal tegas. Perdagangan yang dimaksudnya, tentu saja, sebagian besar merupakan kegiatan ekspor. Seperti yang sudah dilakukannya selama ini, lebih dari 50% produk BB menjelajahi pasar Amerika, Eropa, dan Jepang. Baru sisanya dipasarkan di dalam negeri.
Diversifikasi lain yang cukup mengejutkan kalangan bisnis adalah masuknya BB ke bisnis entertainment. Banyak artis asing didatangkan BB ke Indonesia, yang terakhir adalah pertunjukan koboi-koboi Amerika alias Buffalo Bills dan penyanyi Tina Turner. Tapi ternyata kegiatan impresario yang dikelola oleh PT Permata Hijau Selaras ini tidak termasuk dalam bisnis grup BB. "Itu semua hanya untuk kegiatan sosial, artinya BB hanya sebagai motivator, sedangkan keuntungan yang diperoleh dari sana dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan sosial dan olah raga," kata Ical tanpa merinci lebih jauh. Kecenderungan untuk memasyarakatkan perusahaan mulai tampak sejak Ical masuk di kalangan direksi.
Rencananya, kalau tidak ada aral melintang, dan peraturan yang mengatur penjualan saham di bursa sekunder (Over the Counter) sudah terbit, BB merencanakan akan meng-go public-kan anak-anak perusahaannya. "Saya kira itu bisa terlaksana sekitar tiga tahun lagi, dan yang paling dulu akan go public adalah Bakrie Pipe Industries, kemudian menyusul perkebunan Uni Royal." Dua perusahaan itu mungkin saja go public secara bersamaan. Tapi Ical sengaja memprioritaskan Bakrie Pipe, karena perusahaan industri lebih cepat kembali modalnya, 7-10 tahun. Sedangkan perkebunan, masa kembali modalnya bisa mencapai 15 tahun.
Menurut Ical, "Dengan go public BB bisa terus melaju melakukan diversifikasi usahanya." Kalau itu sampai terlaksana, siapa yang tidak tertarik pada saham BB? Coba simak apa yang diungkapkan Tungky Ariwibowo, Dirut PT Krakatau Steel, yang menjadi mitra investasi pabrik pipa baja tanpa las, dan yang menyuplai kebutuhan bahan baku pabrik-pabrik pipa BB. "Mereka cukup likuid, dan pandai memanfaatkan peluang-peluang yang tampak untuk jangka panjang," ucap Ari tanpa ragu. Untuk itu dia punya bukti kongkret. Selama ini pembayaran yang dilakukan BB pada Krakatau selalu lancar-lancar saja. Soal pabrik Industri pipa yang merugi, memang dibenarkan Ari. Soalnya, bahan baku hot rollel coil (HRC) yang disebut juga baja canai panas, saat-saat sekarang memang sedang langka. "Jadi, bukan hanya Indonesia yang kelabakan, tapi juga negara-negara yang memakai HRC," katanya lebih lanjut. Dan harganya - diakui Ari - hampir setiap kuartal terus merangkak. Kuartal lalu hanya 392 dolar per ton, tapi kini sudah naik menjadi 412 dolar - CNF.
Tingkat kepercayaan yang sama, kendati tidak terucapkan, muncul juga di kalangan perbankan. Coba saja simak. Ketika pada 1959 BB pertama kali membuat pabrik pipa sendiri, PT Talang Tirta, adalah BNI 46 yang mendukung dana investasinya. "Sayang, sesudah itu ada ketidaksesuaian pendapat di antara kami, sehingga untuk sementara kami tidak berpartner lagi," ujar Ical. Tapi kini, "Kegiatan kami tidak bisa lagi ditangani oleh hanya dua atau tiga bank jadi kami akan bekerja sama lagi dengan BNI," katanya. Kalau dilihat dari kerja sama yang dilakukan, BB punya nama cukup baik. Selain Talang Tirta, BB juga bekerja sama dengan BBD - ketika membangun pabrik pengecoran logam. Dari investasi 10 juta dolar, 60% di antaranya disuplai oleh BBD. Begitu pula ketika membeli Perkebunan Uni Royal BBD memberikan pinjaman 42 juta dolar, atau 76% dari seluruh investasi. Sedangkan untuk Bakrie Pipe Industries, dukungan datang dari Bapindo. "Modal kami hanya kepercayaan dan kesetiaan. Kita akan dengan mudah dapat suntikan dana, kalau kita bisa menunjukkan kesetiaan," ujarnya.
Kerja sama juga dengan mudah dialami oleh BB dengan para pengusaha asing. Ini terlihat dari pabrik-pabriknya yang dikelola. PT Kawat, misalnya, dibeli dari pengusaha Belanda. Begitu pula Uni Royal, dibeli dari pengusaha Amerika, sedangkan JHI dari pengusaha Australia. Nah, kendati JHI hanya dibeli seharga Rp 11 milyar, BB memanfaatkan dana dari konsorsium lembaga keuangan, yang di antara anggotanya terdapat Hongkong Bank. Hanya pemerintah RI, tampaknya, yang belum rela perusahaaannya diambil swasta. Seperti yang terjadi awal 1986, ketika harga minyak kelapa sawit (CPO) di pasaran ekspor sedang anjlok. Kabar pun tersiar bahwa PTP IV Tor Gamba dililit utang Rp 116 milyar. Dan tak sanggup lagi mencicil. Jadi, tidak aneh, kalau akhirnya tercapai suatu memorandum of understanding dengan konsorsium swasta yang dimotori BB. Rencananya, konsorsium akan mengambil alih 51% saham Tor Gamba, dengan menyetorkan modal Rp 130 milyar. Entah mengapa, kendati uang sudah tersedia, Departemen Pertanian yang membawahkannya malah membatalkan.
Perhatian pada perkebunan memang bukan hal baru bagi BB. "Tulang punggung kami pada awalnya, ya dari perdagangan hasil bumi," Aburizal mengakui. Wajar kalau kini Bakrie masih rnengincar beberapa perkebunan, dalam rangka melebarkan sayap perusahaan. "Tapi, ingat, yang kami kejar tidak hanya uang. Dengan bergcrak di bidang perkebunan, BB telah memperluas lapangan kerja," kata Ical. Pewaris ini kini membawahkan 10 ribu karyawan, tiga ribu di antaranya bekerja di perkebunan. Budi Kusumah

Sumber: Majalah Tempo

No comments:

Post a Comment