Sunday, March 20, 2011

Kiprah Kematangan Berorganisasi


22 Januari 1994

KEMATANGAN berorganisasi, itulah agaknya yang berusaha ditunjukkan oleh 700 anggota Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), yang menghadiri musjawarah nasional (Munas) di Jakarta, sepanjang pekan lalu. Kematangan seperti ini suatu hal yang tentu bisa saja diperdebatkan -- tak ditemukan misalnya dalam Kongres PDI yang ricuh itu, atau bahkan dalam Kongres PWI yang sangat mulus itu. Di luar dugaan, suara mayoritas Munas memilih pengusaha elite pribumi, Aburizal Bakrie. Sedangkan dua pesaing Ical -- nama akrab Aburizal -- yakni Probosutedjo dan A.R. Ramly, yang sama-sama merupakan calon kuat, ternyata kalah suara.
Para pendukung Probosutedjo -- umumnya pengusaha lemah sempat beberapa kali melancarkan aksi unjuk rasa. Mereka melambaikan spanduk seraya meneriakkan yel-yel. "Kami ingin Kadin dipimpin orang yang memperjuangkan hak kaum lemah. Bukan orang yang dililit utang dan merepotkan," kata seorang peserta demo. Adapun A.R. Ramly, mantan Dirut Pertamina serta bekas Dubes di AS, sudah terjegal sebelum Munas. Ia tersingkir karena persyaratan yang digariskan Majelis Pertimbangan Kadin. "Calon Ketua Umum haruslah pengusaha bondafide, berkedudukan pada tingkat direksi dan bukan pada tingkat komisaris," begitulah syarat MP Kadin yang fatal bagi Ramly, yang adalah Presiden Komisaris PT Astra International itu. Akibatnya, Ramly tak bisa dipilih sebagai formatur, dan hanya bisa dipilih oleh formatur. Yang terpilih sebagai formatur adalah Ical, Agus Kartasasmita, Probosutedjo, Arnold Baramuli, dan Agus Sudono.
Menurut beberapa pengusaha senior, setelah formatur terbentuk, pemerintah berusaha memenangkan A.R. Ramly. Tak kurang dari lima menteri (Mensesneg Moerdiono, Menteri Koperasi Subiakto Tjakrawerdaya, Menteri Perindustrian Tunky Ariwibowo, Menteri Dalam Negeri Yogie S. Memed, dan Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan Siswono Yudohusodo) berkampanye untuk A.R. Ramly. "Itu menunjukkan bahwa pemerintah sebetulnya tak begitu setuju Kadin dipimpin Ical," kata pengamat tadi. Namun, sumber yang sangat mengetahui mengatakan, Ical toh mendapat dukungan dari Wakil Presiden Try Sutrisno, Menteri Ristek B.J. Habibie, dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Ginandjar Kartasasmita.
Dengan atau tanpa dukungan menteri, nyatanya mayoritas peserta memilih Ical. Setelah Ical memastikan dukungan mereka, Probo sportif ikut mendukung. Ketua MP Kadin ini mengusulkan agar Ical yang memenangkan Ketua Formatur otomatis menjadi Ketua Umum Kadin. Floor setuju dan bertepuk tangan riuh. "Saya memang menekan Ical agar jangan mundur. Kalau ia mundur, lalu bagaimana harus mempertanggungjawabkan kepercayaan yang sudah dimandatkan Munas. Lagi pula kalau ia mundur, berarti harus diulang pemilihan suara," kata Probo kepada Dwi S. Irawanto dari TEMPO.
Kalangan pengusaha swasta kali ini agaknya memang sudah sangat mendambakan Kadin dipimpin langsung oleh pengusaha swasta. Dari pengalaman selama dipimpin Sotion Ardjanggi, pengusaha swasta merasa sangat dikecewakan. Sebab selama lima tahun terakhir, yang padat dengan berbagai paket deregulasi, Kadin sangat kurang memberi input kepada pemerintah. "Pimpinan BUMN yang duduk dalam kepengurusan Kadin tampak masih kurang komunikatif," begitu antara lain evaluasi MP Kadin.
Namun, tak sedikit yang menyayangkan kekalahan A.R. Ramly. Soalnya, dia dianggap bisa menjembatani pengusaha besar nonpri dengan pengusaha swasta menengah dan kecil. Sedangkan Ical dianggap pengusaha pribumi elite, yang diragukan bisa berkomunikasi dengan pengusaha nonpri. Dalam evaluasi Majelis Pertimbangan Kadin, kaum konglomerat disinyalir enggan berpartisipasi dalam Kadin, karena mereka sudah mempunyai jalur khusus dengan pemerintah dan bank-bank pemerintah. Ical dalam kampanyenya memang berjanji akan merangkul pengusaha besar. Namun, dari susunan pengurus yang disusun formatur yang dipimpinnya, ia hanya memasukkan mantan Sekjen Hipmi (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia) Anton Riyanto, pemilik Ritra Group, dan Burhan Uray (bos perusahaan kayu Djayanti Group).
Ical hanya mengatakan, tak banyak pengusaha konglomerat (maksudnya nonpri) yang terdapat dalam nominasi calon Dewan Pimpinan Harian (DPH) Kadin. Menurut sumber yang mengetahui, cuma Burhan Uray dan Murdaya Po (bos Berca Group) yang masuk nominasi. Anehnya, dalam susunan DPH yang disusun formatur tercantum nama tujuh orang yang belakangan ketahuan tidak menyetorkan formulir nominasi DPH. Seberapa pun pentingnya partisipasi nonpri dalam Kadin, itu bukan jaminan bahwa organisasi pengusaha itu bisa berperan lebih dari yang sudah-sudah.
Menurut pakar ekonomi Anwar Nasution, Kadin akan menarik jika dia bisa berperan sebagai motor penggerak seperti Keidanren di Jepang. "Jadi, Kadin mesti menjadi captain of industry, bukan seperti sekarang, hanya memalukan bangsa," katanya sinis. Masalah yang dihadapi Indonesia sekarang, selain pemerataan, adalah bagaimana memperkuat jaringan hubungan ekonomi dengan luar negeri. Sebentar-sebentar akan ada sidang ekonomi internasional. "Apakah dalam forum itu Ical sanggup mendampingi Kepala Negara?" tanya seorang pengusaha.
Ada pula yang melihat bahwa pengurus Kadin yang baru terpilih seakan kurang berwibawa. "Jangan-jangan, kasus pertemuan seperti dalam lawatan Presiden Fidel Ramos ke Jakarta terulang lagi," kata seorang pengusaha. Maksudnya? Menurut pengusaha yang tak mau disebut namanya itu, ketika Ramos berkunjung ke Jakarta, Kadin tak diberi kesempatan untuk audiensi. Hanya sekelompok kecil anak-anak konglomerat, yang dipimpin Anthony Salim bersama Yanti Sukamdani dan Hashim Djojohadikoesomo, yang diterima beraudiensi di Wisma Negara.
Terlepas dari kenyataan bahwa Kadin dianggap enteng, masalah utama yang disorotnya justru kondisi dunia usaha di dalam negeri. Menurut evaluasi MP Kadin, usaha BUMN banyak yang menurun, tidak sedikit yang kurang sehat dan bahkan tidak sehat. Pimpinannya sering tidak berani untuk berkomunikasi langsung dengan pejabat bank dan instansi pemerintah yang terkait. Sementara itu, koperasi sangat kurang lancar pertumbuhannya. Sedangkan pengusaha swasta dibagi dalam 3 golongan: swasta besar, swasta menengah, dan swasta kecil (formal dan informal).
Sangat memprihatinkan, pertumbuhan pengusaha kecil yang lamban, antara lain karena kesulitan memperoleh dana. "Bahkan KUK (kredit usaha kecil) disalahgunakan pengusaha besar," kata evaluasi MP Kadin. Pengusaha menengah hampir sama nasibnya dengan pengusaha kecil. Tidak sedikit agunan dari pengusaha menengah dan kecil yang akhirnya dilelang BUPLN (Badan Urusan Piutang & Lelang Negara). Sedangkan pengusaha besar umumnya mempunyai jalur komunikasi yang lancar dengan bank-bank pemerintah serta pejabat negara. Maka usaha mereka pun cepat berkembang dan menggurita.
Teori-teori "penetesan ke bawah" (trickle down effect), anak-bapak angkat, dan pembagian kue terasa kurang terwujud. "Tak adanya kerja sama antara konglomerat dan pengusaha kecil, lantaran adanya kesenjangan kemampuan yang sangat besar antara keduanya," ujar mantan Ketua Kadin, Sotion Arjanggi. Dijelaskannya, dalam tiga tahun terakhir, Kadin telah berusaha meningkatkan kemampuan pengusaha lemah, dengan mengadakan berbagai kursus keterampilan. Kegiatan ini sudah digelar di 6 Kadinda, dan manfaatnya terasa. "Ini yang orang belum tahu, karena kami memang tidak gembar-gembor," ujar Sotion pula. Permasalahan yang dihadapi Kadin memang luas sekali dan tidak bisa diselesaikan dalam satu periode. Bagaimana itu semua akan diatasi Kadin, tentu masih harus menunggu Munas Khusus, enam bulan mendatang. "Yang ingin kita lihat, apa strategi Kadin, apa policy dan programnya. Iktikad sih sudah ada, tapi itu tidak cukup," kata Rizal Ramli, pengamat dari UI.
Baik Rizal maupun Anwar sama berpendapat bahwa Kadin tak bisa jalan tanpa bekerja sama dengan pemerintah. Menurut Anwar, model yang perlu dikembangkan adalah Indonesia Incorporated yang pernah diusulkan Arifin Siregar ketika menjabat Menteri Perdagangan. "Sebagai mitra, bukan berarti bagi-bagi jatah atau kolusi," sindir Anwar lagi. Memang, pengurus Kadin yang baru terpilih mungkin saja "kurang berwibawa" seperti yang disinyalir seorang pengusaha. Tapi bukan mustahil mereka itu terlalu "terjerat ke bawah", hingga barangkali tak lagi merasa pantas untuk bagi-bagi jatah, apalagi berkolusi. Max Wangkar, Dwi S. Irawanto, Bina Bektiakti

No comments:

Post a Comment