Sunday, March 20, 2011

Bali Menggugat Nirwana


29 Januari 1994

ARAK-arakan ratusan -- bahkan ribuan -- orang untuk urusan ritual atau kesenian adalah soal biasa di Pulau Bali. Tapi, Jumat pekan lalu, Denpasar disuguhi atraksi arak-arakan yang lain: aksi unjuk rasa mahasiswa dan pemuda. Mereka lebih dari seribu orang, sebagian adalah mahasiswa Bali yang sekolah di kota-kota besar di Jawa. Barisan anak muda itu bergerak ke Gedung DPRD Bali. Inilah rekor tertinggi sepanjang sejarah aksi unjuk rasa di Pulau Dewata itu. Sasaran para demonstran itu sangat transparan. Mereka menuntut supaya izin pembangunan Bali Nirwana Resort (BNR) di pantai Tanah Lot, Tabanan, Bali, dicabut. "Batalkan BNR, batalkan," teriak para anak muda menampik proyek yang dimiliki Bakrie Group dari Jakarta itu. Mereka menganggap lokasi BNR di dekat pura keramat itu tidak pada tempatnya. "Karena akan menodai kesucian pura," ujar Dewa Rai Anom, salah satu pemimpin demonstran.
Reaksi anti proyek Bali Nirwana Resort itu memang sedang marak di Denpasar. Dua hari sebelumnya, para pemuda itu juga mendemo kantor Gubernur. Lalu, Sabtu malam lalu, bertepatan dengan hari Saraswati, yang dipercaya sebagai saat Hyang Widi menurunkan ilmu pengetahuan, sebagian dari pengunjuk rasa itu datang ke Pura Tanah Lot, 35 km dari Denpasar. Mereka melakukan mekemit, bergadang semalaman. Aksi menolak proyek senilai US$ 200 juta atau sekitar Rp 400 miliar itu tak cuma dilakukan anak muda. Ketika mereka ini ramai berdemo, sembilan budayawan dari kelompok Society for Balinese Studies sedang bicara dengan Ketua DPRD, I Gusti Wayan Sudhiksa. Para budayawan itu menyerahkan resolusi yang disusun berdasar hasil diskusinya 13 Januari lalu. Isinya, menolak kehadiran Bali Nirwana Resort. "Pariwisata tak harus berarti membangun hotel dekat pura keramat," ujar Prof. Ngurah Bagus, antropolog yang bergabung dengan kelompok itu.
Heboh Tanah Lot ini memang muncul sejak Oktober lalu, menyusul dimulainya proyek besar itu, yang ditandai pembuldoseran perdana (untuk meratakan tanah) oleh Bupati Tabanan Ketut Sundria. Di situ PT Bakrie Nirwana Resort, pemilik BNR, bakal membangun hotel dengan 300 kamar, sejumlah bungalow dan kondominium untuk 689 unit apartemen, di atas tanah 121 ha. Bangunannya memakan lahan 40 ha. Tapi sebagian terbesar dipakai untuk lapangan golf yang mengelilingi areal resort. Namun, Bakrie membiarkan 20 ha sawah di kompleks hotel itu sebagaimana adanya. Ini untuk menjaga kelestarian alam dan kehijauan. Begitu pula lima pura kecil di sana bakal tetap dibiarkan berdiri, masing-masing menyita lahan sekitar 400 m2. Untuk tontonan turis? PT Bakrie Nirwana tentu menolak. "Kami tak mau menggusur pura," ujar Mulyadi Gani, Manajer Pengembangan PT Bakrie Nirwana. Gani pun berjanji akan membuka jalan untuk kelima pura itu dan melindungi tempat keramat ini dengan pepohonan. "Agar orang yang bersembahyang tak terganggu," katanya.
Pembuldoseran perdana itu lalu mengundang omongan pro dan kontra. Harian Bali Post menampung unek-unek itu dalam rubrik khusus yang dibukanya, Giliran Anda, November hingga Desember lalu. Di rubrik itu terekam lebih banyak suara kontra ketimbang yang pro BNR. Namun, budayawan Bali, Raka Santeri, merasa curiga dengan cara seleksi di Bali Post. "Saya curiga, apa tak ada tulisan lain yang lebih objektif dan kritis," ujarnya. Aksi menentang proyek Bali Nirwana itu terus menggelinding. Sampai pekan lalu, aksi itu berhasil menarik simpati dari banyak kalangan, mahasiswa, pemuda, seniman, budayawan, beberapa anggota DPRD, serta sejumlah cendekiawan dari Universitas Udayana, Denpasar.
Tapi warga Desa Beraban sendiri, yang sawahnya tergusur proyek Bali Nirwana, tenang-tenang saja. Mungkin mereka terhibur oleh rezeki nomplok dari konglomerat Jakarta itu. Wayan Kejor, misalnya, punya sawah 1,05 hektare, yang tentu saja sulit memberikan penghasilan jutaan. Tahun silam ia melepas sawahnya dengan harga hampir Rp 3 juta per are (100 m2). Jadi, seluruhnya ia menerima Rp 300 juta. Ia bisa membeli sawah lebih luas, 1,9 hektare, di desa tetangga, membuatkan rumah anaknya, dan membeli mobil. Bukan itu saja, Bali Nirwana juga berjanji hitam di atas putih, bahwa akan mempekerjakan 700 orang dari rumah tangga yang tanahnya tergusur, tepatnya dua orang setiap kepala keluarga.
Maka, pemilik Bali Nirwana Resort, Aburizal Bakrie, kalem saja menghadapi aksi di Denpasar itu. "Saya kira tak ada masalah. Izinnya sudah ada. Nanti semua akan beres," ujar Ketua Kadin baru itu kepada Kukuh Karsadi dari TEMPO. Aburizal tak sekadar omong besar. Ia telah mengantongi izin prinsip dan izin mendirikan bangunan (IMB) dari pemerintah daerah setempat. Gubernur Bali Prof. Ida Bagus Oka sendiri mengaku tak memberikan izin secara sembarangan. Ketika berbicara di depan sidang DPRD dua pekan lalu, Gubernur Oka mengatakan, "Secara hukum dan administrasi tak ada keanehan dalam proses masuknya BNR." Ia menunjuk peraturan daerah tentang rencana tata ruang Bali, surat keputusan gubernur tentang kawasan wisata, dan peraturan daerah Kabupaten Tabanan, yang semuanya memungkinkan kawasan Tanah Lot dijadikan daerah pengembangan wisata.
Sebab itu, ketika ditemui delegasi mahasiswa akhir tahun lalu, Gubernur Oka berujar tegas, "Mencabut izinnya jelas tidak mungkin." Namun, Wakil Sekjen Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Ketut Wiana, bilang bahwa ada sebuah surat keputusan dari gubernur terdahulu, Ida Bagus Mantra. Peraturan itu mensyaratkan jarak permukiman dengan pura sekaliber Sad Kahyangan, yang paling dikeramatkan seperti Besakih, setidaknya 5 km. Sedangkan untuk pura Dang Kahyangan seperti Tanah Lot, paling tidak 2 km. "Pada radius itu tanah tak boleh jatuh ke tangan investor," ujarnya. Namun, Wiana juga menyebutkan, semua itu masih bisa dikompromikan. "Kalau tidak, akan memukul balik umat Hindu."
Lahan Bali Nirwana Resort memang hanya 400 meter dari pura Tanah Lot. Sedangkan bangunannya ada yang berjarak 1.500 meter. Boleh jadi, surat keputusan yang disebut Wiana itu memang tidak realistis. Sekarang ini, toko, restoran, penginapan, kios seniman, yang berada di sepanjang jalan menuju pura, justru lebih dekat ke pura Tanah Lot ketimbang rencana proyek milik Bakrie itu. Dan tidak ada yang protes. Maka, Ketua PHDI Tabanan Gde Samba memilih tak mempersoalkan jarak. Walaupun pura letaknya jauh dari keramaian, kalau orang yang datang pikirannya kotor, menurut Samba, ya, membuat pura itu kotor (tak suci). "Yang penting adalah apa yang ada dalam pikiran kita," katanya.
Maka, PHDI Tabanan tak menentang proyek Bali Nirwana, dan meminta lima pura kecil di lingkungan resort itu dibiarkan berdiri. Di tengah aksi itu memang berseliweran desas-desus. Ada yang menuding para pejabat menerima suap, dan kemudian tentu dibantah. Dan kalangan Pemda balas menuduh, aksi itu direkayasa oleh tokoh-tokoh Universitas Udayana yang kecewa dengan Gubernur Ida Bagus Oka, antara lain karena proposalnya untuk melakukan studi amdal (analisa mengenai dampak lingkungan) untuk proyek raksasa itu ditolak. Bahwa kali ini Grup Bakrie menjadi sasaran, itu karena ia pihak pertama yang sanggup membangun di kawasan tersebut karena itu diberi lahan paling dekat dengan pusat kegiatan wisata. Dan semua mafhum, kawasan Tanah Lot (tapi bukan pura nya) yang baru dibuka sebagai daerah wisata itu sudah dikapling-kapling untuk banyak pengusaha sebagian besar dari Jakarta. Putut Trihusodo (Jakarta), Putu Fajar Arcana dan Putu Wirata (Bali)

No comments:

Post a Comment