Sunday, March 20, 2011

Indonesia Inc. & Global Inc.


08 Januari 1994

DALAM sidang APEC di Seattle, November lalu, beredar satu tabulasi tentang investasi antarnegara APEC. Di situ dipaparkan selama 1992, investasi AS di Asia Pasifik mencapai 145 miliar, Kanada 68,4 miliar, Jepang 26,2 miliar, Australia 16,7 miliar, Hong Kong 8,5 miliar, Singapura 6,6 miliar (semuanya dalam US$), lalu Indonesia masuk peringkat keenam. Selama 1992 itu pula investasi negara Asia Pasifik di AS mencapai US$ 155 miliar. Terbesar adalah Jepang dengan 96,7 miliar, Kanada 38,9 miliar, Korea 9,4 miliar, Australia 7,1 miliar, Hong Kong 1,7 miliar, Taiwan 1,1 miliar, dan Indonesia hanya 52 juta (semuanya dalam US$).
Selama 1989-1993, investasi dari RI ke AS hanya US$ 144 juta. Singapura memimpin ASEAN dengan US$ 847 juta. Ini berimbang dengan Taiwan dan Hong Kong. Investasi Thailand naik terus, dan selama tahun 1992 sudah bisa meraup US$ 138 juta lebih besar dari RRC, Selandia Baru, dan Malaysia. Angka investasi Indonesia, yang dikeluarkan departemen perdagangan AS, bisa jadi konservatif. Mungkin karena investor Indonesia, terutama yang nonpri, takut dituding melakukan capital flight, mereka enggan mengumumkan angka sebenarnya. Kalau benar begitu, ini tentu tidak menguntungkan pengembangan kemampuan Indonesia Inc.
Dalam alam persaingan global, Anda bisa duduk tenang di Jakarta menunggu datangnya pembeli. Atau Anda menyerbu ke pasar dunia. Ini biasa dilakukan para encim dari Taiwan yang gayanya mirip inang-inang di sini. Dalam setiap pesawat lintas Pasifik, perempuan yang lincah dan ulet itu menjual macam-macam barang dagangan ke AS. Mereka adalah bagian dari Taiwan Inc., suatu korporasi bisnis yang unik dan mampu menjual barang ke AS sebanyak US$ 24,5 miliar pada tahun 1992, alias hampir senilai ekspor nonmigas kita.
Seberapa unik korporasi Taiwan itu? Taiwan Inc. adalah konglomerat dari banyak pengusaha independen dan hanya sedikit yang berukuran konglomerat. Tapi justru Taiwan Inc. ini lebih tangguh dari Korea yang mengandalkan chaebol (konglomerat) dengan investasi besar-besaran. Akibatnya, utang Korea membengkak US$ 40 miliar, sedangkan Taiwan justru memiliki surplus devisa terbesar di dunia dengan nilai terakhir sekitar US$ 87 miliar.
Dari pembangunan ekonomi selama 25 tahun, dunia usaha di Indonesia menikmati proteksi. Pasarnya dilindungi dari barang impor, dan kemudahan berupa kredit murah serta fasilitas lain. Itu ternyata hanya memelihara kelas pengusaha manja yang tak mampu bersaing dengan barang impor. Syukur, dari ribuan pengusaha yang diproteksi, sejumlah kecil mampu beroperasi ke pasar global. Di luar Grup Salim, Lippo, Bakrie, Dharmala, Raja Garuda Mas, dan lainnya, serta selusin bank devisa yang punya deposit taking companies (DTC) di HongKong, banyak pengusaha kelas menengah yang berani melakukan akuisisi di luar negeri. Aempe Pluit Bataco membeli City Hotel di Perth senilai A$ 77 juta. Grup Gemala mengakuisisi pabrik aki di Inggris dan pabrik komponen otomotif di AS. Berbagai akuisisi itu terasa penting karena pembelian aset atau investasi di negara maju tidak pernah sepenuhnya bebas risiko. Banyak yang merugi atau menghadapi kendala pemasaran, lalu gagal.
Misalnya Grup Summa yang berantakan akibat krisis di Summa Handelsbank Jerman, di samping investasinya yang salah kaprah di tanah air. Di Hong Kong, Indonesia punya 3 bank, 1 restricted bank, dan 14 DTC. Di sana Jepang punya 35 DTC, Australia 16, dan AS 15. Tiga licensed bank milik Indonesia adalah First Pacific (Grup Salim), Hongkong Chinese Bank (Lippo) dan BNI. Bapindo adalah satu-satunya restricted license bank. Bank BUMN lain dan bank devisa sebelum Pakto umumnya punya DTC di negara koloni itu, sebagai bagian jaringan moneter global. Ke-14 DTC adalah milik BBD, BDN, BEII, BRI, Bank Bali, BDNI, BII, BCA, Dharmala, Bank Duta, Indover Asia, Bank Niaga, Argo, dan Ong (BUN).
Kalau PJPT I dianggap berhasil, salah satu kinerjanya tentu harus diukur dari seberapa jauh pengusaha Indonesia mampu bermain di pasar global. Maka, sentimen tentang capital flight harus dijernihkan. Bukankah kita perlu memiliki kekuatan bisnis yang mampu bertempur di medan global? Setelah satu generasi, amat menyedihkan jika hanya Grup Kedaung yang mampu merajai pasar dengan ketangguhan perusahaan multinasional yang berinduk di Indonesia. Jika Kedaung dan Gunawan dari Jaya Pari Steel kemudian berinvestasi ke semua penjuru untuk merajai industri keramik dan baja, termasuk di Cina, kiranya tidak ada alasan untuk menggunjingkan patriotisme Agus Nursalim dan Gunawan.
Menurut pengamatan PDBI, investasi pengusaha Indonesia di luar negeri terbagi dalam tiga kategori: 1. Investasi di sektor jasa keuangan DTC di Hong Kong. Investasi ini sekarang sudah dikembangkan secara lebih canggih melalui pemanfaatan instrumen moneter seperti global depository receipts, promissory notes, di samping sindikasi utang yang menyedot dana offshore untuk dipakai di Indonesia, atau untuk membiayai operasi global seperti kasus Lippo di RRC. 2. Investasi di sektor manufaktur oleh kekuatan industri spesialis yang di dalam negeri sudah menguasai pasar hingga perlu pasaran ekspor pada tingkat regional dan global. Ini bisa dengan akuisisi ala Grup Mantrust dan Gemala, atau langsung membuka pabrik seperti Kedaung dan Jaya Pari. 3. Investasi dalam bentuk properti, real estate, investasi portfolio yang bisa berupa tabungan keluarga, pribadi, atau oleh badan hukum perusahaan. Termasuk di sini investasi dalam bentuk tabungan rekening ACU di Singapura, maupun rekening Eurodollar di Swiss, Cayman Islands, dan fasilitas Eurocurrency lain yang memang memberi suaka finansial terhadap ancaman devaluasi.
Dalam arus globalisasi yang melanda seluruh dunia, PDBI mendukung agar BUMN go international. Bila BUMN tak mampu bermain di panggung bisnis global, nasibnya akan kian merana dalam struktur ekonomi nasional. Justru jika Indonesia Inc. masih menginginkan adanya BUMN yang tangguh, sedang pemerintah menghadapi kesulitan dana karena turunnya harga minyak, BUMN harus mampu menyedot dana dari pasar global. PLN dan Telkom jelas lebih menarik prospeknya di Wall Street daripada Inti Indorayon.

No comments:

Post a Comment