Saturday, March 12, 2011

Dari Bir Ke Baja


30 November 1991

Atas permintaan Bakrie, Tanri Abeng melepas jabatan presdirnya di MBI. Ia mencita-citakan kejayaan bisnis pribumi. "MANAJER satu milyar rupiah" Tanri Abeng akhirnya menjatuhkan pilihan. Di hadapan hadirin peserta rapat umum pemegang saham luar biasa yang diselenggarakan Kamis pekan lalu, ia mengucapkan pidato pengunduran diri sebagai Presiden Direktur PT Multi Bintang Indonesia (MBI). "Saya tidak mau anak buah merasa bosan karena terus-terusan dipimpin oleh saya," katanya setengah bergurau. Perpisahan dengan Tanri kali ini memang resmi, tapi tidak dengan air mata. Katakanlah sekadar perpisahan bisnis, karena manajer kelahiran Bugis itu masih "lengket" di Bintang -tapi sekarang sebagai presiden komisaris. Pada usianya yang menjelang setengah abad, tampaknya jabatan itu cukup pas, setidaknya sebagai pengisi waktu senggang.
Mengapa? Seperti diketahui, sudah sejak dua tahun lalu, Tanri berkiprah di Bakrie & Brothers. Dengan merangkap dua jabatan penting, semakin berkibarlah tokoh yang pernah dijuluki manajer termahal di Indonesia ini. Peristiwa semacam itu bukan saja tak lazim, tapi sungguh-sungguh mengejutkan. Apalagi Tanri dikabarkan menerima transfer fee Rp 1 milyar. Isu besar ini belakangan dibantah sendiri oleh yang bersangkutan. Dalam kesempatan itu juga, Tanri menyatakan tekadnya untuk menempuh karier baru di Grup Bakrie. Ini diungkapkannya secara terus terang kepada TEMPO. Katanya, setelah 12 tahun menjadi Presdir MBI, perusahaan itu tidak lagi memiliki tantangan bagi seorang manajer. Menurut Tanri, seluruh lini organisasi MBI sudah tertata rapi. Dan hal itu terbukti selama setahun, ketika Tanri melakukan conditioning di kantor Grup Bakrie di kawasan Jakarta Selatan. Sepanjang waktu itu, tanpa arahan darinya, MBI sudah bisa menggelinding sendiri.
Lain halnya dengan Grup Bakrie. Selain manajemennya masih memerlukan pembenahan (ketika masuk ke sini, Tanri melakukan reorganisasi besar-besaran), grup usaha ini juga masih berpeluang besar untuk diversifikasi usaha. la terutama melihat peluang ekspansi pada bisnis baja, perkebunan, dan telekomunikasi. Ketiga sektor itu juga yang merupakan andalan Bakrie selama ini. Tentu saja, bukan cuma tantangan manajemen seperti itu yang menggelitik Tanri untuk hijrah ke Bakrie. Salah satu pendorong yang juga menentukan adalah tawaran grup pribumi ini: Seperti yang banyak digunjingkan di kalangan manajer, tawaran Bakrie kabarnya lebih besar ketimbang MBI. Benarkah? Walau enggan menyebutkan jumlahnya, Tanri mengakui bahwa pendapatan yang diberikan Bakrie "sangat memuaskan". Tapi ditegaskannya, bukan itulah yang menggerakkan ia untuk bergabung ke sana. Sebelumnya, Heineken (pemegang saham mayoritas MBI) juga telah menawarkan jabatan direktur kawasan Asia Pasifik pada Tanri. Dan iming-iming gaji pasti lebih menggiurkan. "Gajinya memang gede. Tapi saya tak mau terus-menerus bekerja full time untuk orang asing," kata manajer yang sebelum di Bintang pernah menjabat sebagai anggota Dewan Direktur PT Union Carbide Indonesia ini.
Dari sini terkesan bahwa Tanri ingin menyumbangkan keahlian manajerialnya bagi kemajuan usaha pribumi di negeri ini. Mengapa, misalnya, ia tidak mengikuti jejak Soebagio yang sesudah sukses berkiprah sebagai manajer puncak di Grup Astra, lalu terjun sebagai pengusaha? "Untuk sementara ini, saya akan tetap pada jalur profesional murni. Tapi bisa saja sekali waktu saya terjun sebagai entrepreneur," jawab Tanri. Namun, tampaknya usia yang beranjak ke setengah abad tidak begitu ideal untuk diajak berjuang di jalur pengusaha. Jadi bagi Tanri lebih baik tetap berada di jalur profesional, dengan harapan, "Suatu ketika kelak akan muncul perusahaan pribumi (Bakrie maksudnya) yang menjadi kebanggaan RI." Budi Kusumah dan Bambang Sujatmoko

No comments:

Post a Comment