Monday, March 14, 2011

Sudah Kalah Tertimpa Suap


18 April 1987

PSSI kalah, sebenarnya, sudah lama bukan berita lagi. Tapi tim asuhan Berce Matulapelwa menjadi pergunjingan orang bukan karena pekan lalu kalah melulu pada babak penyisihan Pra-Olimpiade grup III Zone Asia Timur. Di balik kegagalan itu -- kalah dari Singapura dan Jepang masing-masing 0-2 dan 0-3 ternyata terbetik adanya kasus suap. Cerita suap memang bukan baru bagi sepak bola Indonesia. Karena itu, tak kurang Berce sendiri sudah curiga terhadap anak asuhnya. Sejak berangkat dari Jakarta, pelatih yang pernah menangani Pelita Jaya itu sudah mendengar selentingan: PSSI akan kalah 0-2 dari Singapura. Karena itu, "Pak Kardono berpesan agar semua bermain ngotot," tutur Berce pada Farid Ridwan dari TEMPO.
Kecurigaan Berce bertambah ketika melihat penampilan buruk pemainnya dan benar-benar kalah dua gol di Singapura. Apalagi, ada pemain yang dinilainya bermain tidak wajar. "Bola yang harusnya disundul masuk, malah jatuh tepat di pelukan Kiper David Lee," ujar Berce kesal. Maka, selesai pertandingan, Berce langsung mengumumkan susunan pemain yang akan turun di Tokyo. Tiga pemain -- Bambang Nurdiansyah, Elly Idris, dan Noach Maryen -- yang dicoret, lalu menemui Berce menanyakan mengapa mereka tak dipasang. "Saya jawab, 'kalian merasa disuap 'nggak?' Setelah saya desak, akhirnya mereka mengaku. Alasannya, untuk menang. Tapi, coba pikir, mana ada suap macam begitu," kata Berce lagi. Yang ganjil, mungkin dengan alasan tak ada lagi pemain, Berce tetap memasang Noach Maryen dua babak penuh di Tokyo.
Ketika pasukan Indonesia -- yang sudah babak belur -- itu kalah lagi dari Jepang, isu suap pun meledak. Sedikitnya lima orang pemain disinyalir menerima uang haram. Atas dasar pengakuan pemain dan kekalahan menyakitkan itu, Berce segera mencoret sedikitnya tiga pemain -- secara resmi belum diumumkan. Pengakuan pada Berce itu cukup lengkap. Sampai akhirnya didapat nama si penyuap dan cara mereka beroperasi.
Dalam catatan TEMPO, nama yang disebut itu tak asing lagi. Ia adalah tokoh judi terkenal. Kini, sang tokoh berada dalam status tahanan luar, setelah divonis setahun penjara karena kasus suap sepak bola. Benarkah pemain-pemain itu "menjual" nama Indonesia? Tiga pemain yang dikabarkan menerima suap ketika ditemui TEMPO membantah keras. "Saya memang salah, ada kontak dengan orang itu. Tapi, berani sumpah, saya tidak terima sepeser pun. Saya main sungguh-sungguh, Mas. Kalau diributkan terus, lebih baik saya berhenti main bola. Capek," keluh Bambang Nurdiansyah. Hanya bercelana pendek putih, kaus biru bertuliskan PELITA JAYA -- nama klubnya -- arek Malang, Jawa Timur, ini sesekali menarik napas panjang. Ia tampak bingung. Noach Maryen, yang juga disebut-sebut, mengakui menerima uang Rp 100 ribu. "Tapi, itu hanya uang jajan dan ongkos pulang," tutur Noach pada Totok Amin dari TEMPO. Bersama Noach, masih ada Louis Mahodim dan Elly Idris yang menerima sejumlah itu.
Kejadiannya bermula dari Hotel Jayakarta Tower di kawasan Kota, Jakarta Barat. Hampir tengah malam, 28 Maret lalu, sebuah mobil CJ-7 merah memasuki pelataran parkir hotel. Penumpangnya: Bambang Nurdiansyah, Robby Maruanaya, Louis Mahodim, dan Noach Maryen. "Rencananya akan ke Stardust disko untuk menyegarkan pikiran," cerita Bambang. Elly Idris, ternyata, sudah ada di lobi hotel. Robby, yang tampak sudah akrab dengan tempat itu, naik duluan ke lantai tujuh. Akhirnya, setelah kesasar, Bambang, Louis, dan Noach bertemu dengan Robby di salah satu kamar. Bersama Robby, sudah ada tiga orang cukong. Elly Idris, yang menginap di kamar yang berdekatan, dipanggil Robby untuk ikut bergabung. Setelah Elly datang, kelima pemain terlibat tawar-menawar. "Kami semua minta menang," tutur Noach, alumnus Galasiswa yang baru saja bergabung dengan Pelita Jaya.
Tampaknya, perundingan berjalan seret. Cukong-cukong itu, untuk hasil pertandingan di Singapura dan Jepang, menjanjikan imbalan suap Rp 60 juta Akhirnya, "Pertemuan itu selesai tanpa ada putusan." Bambang dan Robby langsung turun diantar cukong tadi, sementara Elly kembali ke kamarnya. Tak lama kemudian, si cukong kembali dan menyodorkan Rp 300 ribu untuk tiga orang. "Bagian Elly saya berikan di kamarnya, terus saya dan Noach pulang naik taksi," tutur Louis Mahodim, pemain gelandang asal UMS 80 dan Arseto Solo ini. Menurut Noach, sehari setelah pertemuan itu, Bambang, Elly, dan Robby kumpul lagi di rumah Bambang. Ia curiga, ketiganya punya rencana lain. Maka, ketika Berce memanggil Noach dan Louis setibanya di Tokyo, keduanya membuka kejadian di Jayakarta Tower itu. "Kami disuruh cerita sejujurnya, dia jamin akan simpan. Eh, begitu Pak Berce tahu, susunan pemain langsung dirombak," kata Louis lagi.
Apa pun yang terjadi, inilah pukulan pahit untuk Pelita Jaya, klub kelima pemain itu. Padahal, sudah lama terdengar klub itu bergelimang uang. Bonus jutaan rupiah, untuk setiap kemenangan, bukan lagi cerita baru di klub milik Pengusaha Bakrie ini. Yang muram bukan hanya Pelita Jaya. PSSI pun suram. Harapan ke Olimpiade Seoul tahun depan, boleh dibilang, tinggal mimpi. Toh, Acub Zainal, Ketua Tim Penelitian dan Penanggulangan Masalah Suap (TPPMS), tak bertindak gegabah. "Kami masih mengumpulkan data," tutur Acub, yang pernah menjadi saksi persidangan suap di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Nada yang sama juga dikemukakan Ketua PSSI Kardono. "Saya harus hati-hati. Ini menyangkut nama baik orang," katanya pada Lucia Marina dari TEMPO. Dan, tentunya, nama baik PSSI.
Angin suap yang berembus kencang sekarang ini, mudah-mudahan, bukan sekadar kambing hitam dari dua kekalahan sebelumnya. Sebab, tanpa itu pun -- apa boleh buat harus diakui PSSI Pra-Olimpiade belum menjadi tim yang pantas dikirim ke turnamen seperti ini. Herry Kiswanto, kapten dan pemain terbaik kompetisi Galatama 1986, menilai, "persiapan terlalu singkat." Pantaslah, karena tim ini hanya disiapkan dua minggu. Singapura, yang punya Fandi Ahmad sebagai bintang, misalnya, masih perlu waktu dua bulan. Sebelumnya, dengan persiapan yang cukup -- termasuk mengirim tim ke Brasil terbukti Indonesia mampu menjadi semifinalis Asian Games Seoul. Sayang, contoh baik ini tak jadi pelajaran bagi PSSI. Apa boleh buat, peristiwa mengenaskan ini justru terjadi di akhir masa jabatan Kardono.

No comments:

Post a Comment