Thursday, March 10, 2011

Tor Gamba Menggoyang Menteri


08 Februari 1986

SIAPA sangka tanaman kelapa sawit, di musim hujan penuh angin ini, bisa menggoyang-goyangkan ketenangan kerja sejumlah menteri. Soalnya memang tidak kecil, karena melibatkan usaha mengundang masuk pihak swasta untuk ikut menikmati 46 ribu ha tanaman ekspor milik negara, yang siap dipetik itu. Kritik mulai mengalir sesudah diketahui, kebun Tor Gamba milik PT Perkebunan IV di Sumatera Utara akan ditranfusi dengan dana swasta Rp 130 milyar hanya karena tidak kuat memikul cicilan bunga pada dua bank negara.

Orang kemudian membandingkan dengan upaya pemerintah menyelamatkan Indocement: menyuntik Rp 364 milyar dari dana APBN 1985 -- 1986. Kalau bisa untuk pabrik semen Tiga Roda, mengapa tidak kepada badan usaha milik sendiri? Pekan lalu -- setelah beberapa waktu sebelumnya menyatakan perlunya swasta "menolong usaha negara dari keambrukan" itu -- Menteri Pertanian Achmad Affandi mengungkapkan paket penyelamatan perkebunan Tor Gamba itu. Pertama, meminta kepada Bank Bumi Daya (BBD) dan Bank Ekspor-Impor (Eksim) agar menurunkan tingkat suku bunga kredit investasi mereka dari 16% jadi 12%, yang diputuskan berlaku juga bagi semua PTP di lingkungan Departemen Pertanian. Dan, kedua, memutuskan memperpanjang jangka pengembalian kredit dari 10 tahun jadi 13 tahun.

Kata Menteri Affandi, kalau harga minyak sawit kasar (CPO) makin jatuh dari angka US$ 270 per ton, "Maka ada kemungkinan pembayaran itu dipertimbangkan untuk diperpanjang lebih dari 13 tahun." Sebagai pemberi pinjaman, BBD, yang menyalurkan kredit investasi hampir 14 milyar, dan Bank Eksim sekitar Rp 102 milyar, jelas bakal merasakan pukulan langsung. Menurut taksiran kasar, jumlah pinjaman dari seluruh perbankan pemerintah yang bakal terpengaruh kebijaksanaan itu lebih dari Rp 700 milyar dari komitmen di atas Rp 1,2 trilyun. Sekitar Rp 400 milyar di antaranya mengucur dari Bank Indonesia, yang dipinjamkan dengan suku rendah ke pelbagai bank pelaksana itu, sebagai kredit likuiditas untuk membiayai proyek berprioritas tinggi. Karena itulah, setelah dicampur dengan dana masyarakat, suku bunga pinjaman untuk tanaman ekspor itu ditetapkan BI hanya 12% setahun. Menteri Affandi tidak menjelaskan soal suku bunga 16% yang disebutnya itu.

Beberapa pejabat pemerintah, yang punya hubungan dengan soal pinjaman itu, sulit dihubungi. Hanya saja, menurut sebuah sumber, cicilan bunga perkebunan ini kepada BBD ternyata masih lancar hingga kini. Kredit dari BBD itu mulai diambil tahun 1978 untuk membuka perkebunan kelapa sawit seluas 10 ribu ha di Tor Gamba. Mulai saat itulah, perkebunan ini, yang semula hanya mengenal tanaman karet dan cokelat, mengenal kelapa sawit. Pembayaran bunga atas utang itu, yang sudah dimulai empat tahun kemudian ketika tanaman kelapa sawit bisa dipetik hasilnya, kelihatan lancar.

Yang mengherankan, ketika harga CPO di pasar London menunjukkan gejala turun dari USX 480 di 1981 jadi US$ 375 di 1982, PTP IV malah memperluas perkebunannya dengan menarik kredit dari Bank Eksim. Di tengah suasana suram akan harga CPO di luar negeri itu, Tor Gamba berikut pabrik minyak sawitnya diresmikan Kepala Negara, dua tahun lalu. Kenaikan harga CPO, yang pernah mencapai USS 970 di bulan Mei 1984, ternyata tak bisa dinikmati karena tanaman belum bisa dipetik seluruhnya.

Berabenya, di saat tanaman siap dipetik hasilnya, harga CPO sudah terguling hingga angka US$ 270 -- jauh lebih rendah dari harga ketika keputusan memperluas perkebunan dibuat. Padahal, menurut Menteri Affandi, studi kelayakan proyek itu didasarkan pada perkiraan harga CPO akan mencapai US$ 500. "Hal inilah yang membuat Mentan dan bank, waktu itu, yakin usaha perluasan sangat layak dilakukan, walau dengan bunga 16% setahun," katanya. Perkiraan optimistis, tentu, mengingat resesi ketika itu justru sudah mulai menggigit Eropa Barat, salah satu pasar utama CPO dari sini.

Sudah suratan nasib PTP IV agaknya, karena di saat suram itu, cicilan bunga 1985 yang harus dibayarnya Rp 12 milyar, dan tahun berjalan ini mencapai RP 17 milyar. Secara akumulatif, bunga yang harus dibayar hingga 1989 meliputi RP 130 milyar--melebihi utang pokoknya kepada BBD dan Eksim. Usaha menginjeksi PTP IV ini dengan dana pemerintah sekitar RP 90 milyar atau Rp 130 milyar kabarnya tak bisa dilakukan. Karena itulah, swasta dari kelompok Bakrie Brothers, yang membentuk konsorsium dengan swastawan lain, diundang untuk menolong. Konsorsium sudah sanggup menyediakan Rp 130 milyar sebagai kompensasi atas penguasaan 51 % saham di perkebunan itu (TEMPO, 25 Januari). Pihak swasta juga sanggup mencarikan pinjaman dengan bunga 9% bagi usaha patungan itu kelak. Sesudah kedua belah pihak sepakat, 11 November 1985, keluarlah memorandm of understanding. Tak jelas benar apakah keputusan pemerintah terakhir yang mungkin membatalkan MOU itu akan membuat pihak swasta mengajukan denda.

Kasus yang menimpa PTP IV memang berbeda jauh dengan gambaran global 215 BUMN yang penjualannya naik dari Rp 6,5 trilyun di 1979 jadi Rp 21 trilyun di 1984. Labanya juga meroket dari Rp 1,2 trilyun jadi Rp 2,3 trilyun. Tidak semua angka itu ternyata mencerminkan kesehatan kebanyakan perusahaan negara. Andai kata saja, separuh dari perusahaan negara -- di luar perbankan, Pertamina, Krakatau Steel, dan PLN -- bisa lebih efisien mengelola dananya, kesulitan seperti Tor Gamba bisa dicegah. Yang sulit tampaknya mengendalikan kepentingan di luar perusahaan untuk tidak turut campur dan mempengaruhi jalannya perusahaan. Eddy Herwanto Laporan Budi Kusumnah (Jakarta)

No comments:

Post a Comment