Thursday, March 10, 2011

PIR: Wadah Petani Dan Pengusaha


09 September 1989

POLA PIR (Perkebunan Inti Rakyat) bukanlah ciptaan baru. Memang untuk tanaman keras seperti kelapa sawit, baru sekarang diupayakan. Dan ini sesuai dengan Inpres No. 1 tahun 1986. "Ketentuan Ditjen Perkebunan menyebutkan, izin pendirian perkebunan baru mewajibkan pola PIR baik pada PTP maupun perkebunan swasta," ujar Adlin Lubis, Kepala PPM (Pusat Penelitian Marihat) di Pematangsiantar, Sumatera Utara. Astra juga akan menerapkan pola PIR itu pada perkebunan kelapa sawitnya.
Untuk PIR sawit, Astra tercatat sebagai perkebunan swasta yang pertama. Ini dikatakan oleh Kepala Bidan Agribisnis Astra, Benny Subianto. Sampai kini Astra juga sudah menggarap perkebunan jeruk, teh, dan cokelat. Dengan pola PIR, Astra, yang bertindak sebagai inti, baru mengelola 200 dari lahan seluas 10 ribu ha di Riau. Selebihnya, lahan itu dikelola petani sebagai peserta plasma. Kredit petani dibayar dengan hasil panennya, yang memang wajib dijual hanya ke pihak inti. Astra didukung oleh pinjaman Bank Dunia yang disalurkan oleh Bank BNT, BRI, dan BBD. Investasinya menelan sampai 60 juta dolar AS. Bakrie & Brothers, baru tahun depan berencana menerapkan PIR -- seluas 56 ribu ha di Kalimantan Barat -- juga buat perkebunan kelapa sawit. Sementara itu perkebunan kopi dan karetnya masih ditangani secara biasa. Mengapa Astra dan Bakrie tertarik?
Pola PIR tampaknya ideal. Petani mau tak mau harus belajar maju -- kendati bermodal dengkul -- supaya bisa mengelola perkebunan plus teknologi. Ditambah lagi mesti bisa mengatur keuangan. Pola PIR memang menuntut kebolehan semacam itu. Soal dana bagaimana? Dirjen Perkebunan Rachmat Subiapradja mengatakan, tanpa bantuan Bank Dunia juga bisa. Cukup dimodali pinjaman dalam negeri. "PIR Lokal dan sebagainya itu kan tidak perlu pinjaman luar negeri," katanya. Toh pola PIR menguntungkan perusahaan inti, sebab tak perlu menginvestasi sendiri semua prasarana. Ia cukup menyediakan pabrik. Sejauh yang menyangkut perkebunan, memang pada akhirnya petanilah yang menanggung.
Tapi, dalam prakteknya, masih banyak yang tidak mulus. Yahdi, penggarap 2 ha kebun karet PIR Perkebunan Tani Rakyat di Labuhanbatu, buka rahasia. Katanya, banyak petani yang terjerat utang. Entah itu karena kredit televisi, barang pecahbelah, atau kredit sepeda mini. Bukan mustahil petani tak sanggup bayar hingga lahan garapannya dilego. Faktor lain menurut P.M. Siregar -- Ketua KUD Harapan di Labuhanbatu karena petani tak sanggup mengelola lahannya. Menurut catatannya, sudah ada 150 kk yang menjual kebun mereka, kendati hal ini dilarang. Tapi ada juga kebun milik peserta plasma yang rapi, yang ternyata diserahkan kepada tenaga kasar untuk merawatnya. Tak kurang unik adalah eksperimen petani dari Jawa. Ia mengikuti program PIR yang dilekatkan pada program transmigrasi. Tanah yang dipercayakan kepadanya tidak digarap, malah dijual. Dengan uang itu, ia pulang lagi ke Jawa, untuk kembali ke daerah transmigrasi mengikuti rombongan lain.
"Memang ada orang yang bisnisnya demikian," ujar Benny Subianto. Menurut Rachmat Subiapradja, hal-hal seperti di atas cuma kasus. Meskipun demikian, "Harus ada penyuluhan lebih baik, jangan sampai kena iming-iming," katanya. Ia percaya, kalau dikelola dengan baik, kebun kelapa sawit, misalnya, akan mencapai hasil optimal pada tahun ke-10. Agar jangan terlalu banyak penyalahgunaan tanah PIR, Ditjen Perkebunan menyiapkan petugas-petugas khusus, yang wajib menjaga hubungan antara petani dan perusahaan inti."Kami sudah mendidik mereka," ujarnya. Para petugas itu juga harus menggiring petani, agar tidak menjual hasil panennya ke pihak luar. Dan ini memang sering terjadi. "Kalau harga di luar ternyata lebih baik, buat apa menjual kepada perusahaan inti," tutur Sudiatmo, peserta Pirsus PTP IV Gunung Pamela, 250 km dari Pekanbaru.
Eka Tjipta Wijaya, pemilik Bimoli yang perkebunan kelapa sawitnya tersebar di Sumatera dan Kalimantan, mengalami hal yang sama. Salah satu perusahaannya, Sandang Mas, yang bertindak sebagai inti tersaingi pabrik-pabrik yang tak punya areal perkebunan sendiri. Mereka berani beli tanah mahal dari petani. Kebun yang dikelola Sandang Mas dicuri kelapa sawitnya dan dijual ke pabrik-pabrik yang tak punya kebun sendiri itu. "Perlu dibentuk kode etiknya," ujar Eka Tjipta. Harga sawit dalam negeri memang sampai Rp 600 per kg. Di tengah berbagai godaan dan hambatan, banyak juga petani yang bisa bertahan. Dan kelak mampu mengubah nasibnya. Sesuai dengan ide PIR, yang dicetuskan Abdurrachman 20 tahun silam -- waktu itu anggota DPR Gotong Royong. Menurut Abdurrachman, yang kini menjadi Ketua Komisi IV DPR-RI itu, petani sekarang bermodalkan otot. Tapi dengan pola PIR, "Terbukti bahwa buruh kebun bisa makmur setelah jadi petani, dan bisa mengubah nasibnya," katanya. Jadi, "Kalau perusahaan swasta asing bingung menjalankan pola PIR, saya kira karena tak mau mengurus orang banyak itu. Mereka cuma berprinsip bisnis murni," tambahnya.
Benny Subianto mengakui bahwa memang akan lebih menguntungkan bila perkebunan dikelola sendiri. Termotivasi oleh pikiran yang sama, PT Lonsum (London Sumatra), Februari lalu mengeluh di depan DPRD Sum-Ut. Izin perpanjangan hak guna usaha (HGU) atas 4 ribu ha lebih lahan perkebunannya belum dijawab. Lonsum memang mengelola sendiri, tanpa PIR. Menurut Rachmat Subiapradja, masalah perpanjangan HGU baru akan dibicarakan di tingkat Ekuin Oktober mendatang. "Pasti ada jalan keluarnya," ujar Rachmat, sembari menegaskan lagi bahwa pola PIR itulah yang tetap akan dikembangkan di lingkungan Departemen Pertanian. Suhardjo HS, Ardian, Muchsin Lubis, dan Alfian Bey (Medan)

Sumber: Majalah Tempo

No comments:

Post a Comment