Thursday, March 10, 2011

Perburuan Manajer


17 Juni 1989

MASIH ingat berita kecil di rubrik Ekonomi & Bisnis, tiga pekan lalu? Di situ, "Raja Bir" Tanri Abeng diisukan akan pindah ke PT Bakrie & Brothers, dengan uang transfer Rp 1 milyar. Nah, sejak itulah, harga manajer ramai diperbincangkan orang. Memang, Tanri mambantah keras kabar angin itu. "Benar, saya ada pembicaraan dengan Bakrie, tapi tidak soal uang," katanya. Mungkin dia benar. Tapi bagaimana dengan "Tanri-Tanri" lainnya? Mereka, para manajer top itu, kini banyak diincar.

Okkie Monterie, contohnya. Bekas vice president Chase Manhattan Bank ini sejak bulan lalu pindah ke Bank Internasional Indonesia (BII), sebagai Direktur Treasury. Sebuah sumber yang bisa dipercaya menyebutkan, Okkie menerima uang transfer Rp 500 juta. Empat rekannya yang lain (juga dari Chase, dan seorang di antaranya kini duduk sebagai General Manager BII), masing-masing menerima Rp 200 juta. Kini gaji Okkie dikabarkan Rp 20 juta per bulan. Itu di luar fasilitas seperti mobil, rumah, bonus tahunan, dan entah apa lagi. Wah, wah, wah.

Setelah Okkie dkk., menyusul Widjokongko Puspoyo dan Ubaidillah Faridz, yang sejak akhir bulan lalu duduk sebagai dirut dan direktur di Bank Pengembangan Industri. Konon, buat Widjokongko, uang transfernya Rp 400 juta. Tidak jelas berapa yang diterima Ubaidillah, yang sebelumnya menjadi Asisten Direksi di Bukopin. Berpindah-pindah bukanlah hal baru bagi Widjokongko. Sebelumnya, ia pernah bekerja di Citibank, kemudian di Bank Indonesia, pindah lagi ke Bank Perniagaan Indonesia (sekarang Lippo Bank), lalu melompat ke Bank Buana Indonesia, dan terakhir menclok di Bank Umum Asia. Dari situ barulah ia hinggap di Bank Industri. Usianya baru 45 tahun, tapi Widjokongko sudah menginjak enam kantor bank. Wah, wah.

"Ah, itu wajar," komentar Cacuk Sudarijanto, Dirut Perumtel, yang juga menjabat Ketua Persatuan Manajer Indonesia. Menurut dia, di saat banyak bank didirikan, perpindahan seperti itu biasa. "Sesuai dengan hukum ekonomi, kalau permintaan lebih tinggi dari penawaran, ya begitulah jadinya," komentar Cacuk. Dikatakannya, banyak faktor yang mendorong perpindahan manajer, seperti kesempatan (opportunity), pengakuan, dan idealisme. "Jadi, tidak semata-mata karena uang." Tidak jarang seorang manajer pindah karena jabatannya naik. Cacuk sendiri, ketika menjabat wakil presdir di IBM, didatangi oleh seorang pemburu manajer (head hunter). Sang pemburu menawarkan jabatan Direktur Operasi di ITT (PMA yang kemudian menjadi BUMN PT Indosat), plus gaji Rp 1,8 juta. Ia pun langsung pindah. Selain di IBM kariernya sudah tak mungkin naik lagi, gajinya juga hanya Rp 1 juta. Tunggu apa lagi? Menurut Cacuk, ketika di Indosat itulah, tawaran datang beruntun. Tak kurang dari enam grup perusahaan raksasa yang menawarkan jabatan lebih tinggi dengan gaji lima kali lipat lebih besar. Kenapa tidak pindah? "Saya melihat kesempatan besar di BUMN ini," jawabnya. Perhitungan yang tepat. Buktinya, tahun lalu, Cacuk diangkat sebagai Dirut Perumtel.

Peluang emas juga tak dilepaskan begitu saja oleh Trenggono Purwosuprodjo. Ketika menjabat Direktur Keuangan PT Federal Motor (Astra), ia ditawari menjadi Dirut Overseas Express Bank, 1986. "Saya terima tawaran itu bukan karena gaji. Saya merasa tertantang untuk mempersiapkan OEB go public," kata Trenggono. Menurut pakar ekonomi Kwik Kian Gie, langkanya manajer top melambungkan harga mereka, yang kini berkisar antara Rp 15 dan Rp 50 juta per bulan. Di samping itu, keterbatasan jumlah manajer top tidak pula diimbangi dengan pencetakan yang klop. Lembaga-lembaga pendidikan manajemen sekarang belum mampu menciptakan manajer yang siap pakai. Kenapa? Kwik berpendapat, masalahnya ada pada lembaga pendidikan ini, yang tidak membuka peluang pada siswanya, untuk berhadapan dengan dunia praktek yang nyata. Laporan Linda Djalil, Budiono Darsono, Sidartha Pratidina

Sumber: Majalah Tempo

No comments:

Post a Comment