Saturday, March 12, 2011

Konsep Buat Pemerataan Aset


17 Maret 1990

SETELAH bertemu dengan Presiden di Tapos Ahad dua pekan lalu, para bos konglomerat bagaikan menghadapi teka-teki musykil yang tak kunjung terpecahkan. Pikiran mereka terpaku pada persoalan bagaimana menanggapi dengan sebaik-baiknya imbauan Presiden perihal 25% saham buat koperasi. Institut Manajemen Prasetiya Mulya (IMPM), lembaga pendidikan manajemen yang didirikan sekitar 31 pengusaha konglomerat itu, sampai awal pekan ini konon belum menemukan rumus yang jitu.

Ambil contoh perusahaan mobil PT Imora Motor, Indo Mobil, dan Toyota Astra Motor. Jika masing-masing melepaskan 15% saham kepada koperasi, dampak terhadap beban perusahaan masing-masing tentu tak akan sama. Lalu, soal besarnya nilai saham yang akan dilepas. Misalnya Indocement, menawarkan 1% saham saja buat koperasi, tapi itu senilai Rp 60 milyar. Tahun 1990, perusahaan itu menargetkan laba bersih Rp 300 milyar dan kemungkinan akan membagi dividen Rp 100 milyar. Itu berarti dividen yang akan dibagikan kepada koperasi sebesar Rp 1 milyar. Dari dividen itu, 25% atau Rp 250 juta sudah akan bisa "dimakan" koperasi. Jumlah itu jelas merupakan injeksi dana yang bisa membuat koperasi lebih berotot. Namun, jika untuk pelunasan utang Rp 60 milyar tadi, koperasi hanya akan menyisihkan 75% dari jumlah dividen, kapan bisa melunasi utang? Sampai zaman lepas landas pun, koperasi belum akan mampu menguasai 1% saham Indocement tadi.

Tak mengherankan jika timbul konsep lain. Ada ide agar semua perusahaan yang telah menikmati untung dikenai lagi tambahan pajak 1%. Jika biasanya mereka dikenai pajak 35%, sekarang menjadi 36%. Dengan demikian, beban akan dirasakan merata pada perusahaan yang untung. Masalahnya, imbauan supaya menjual sahamnya sampai 25% akhirnya tersandung di angka 1% saja. Seorang pakar ekonomi di Jakarta mengatakan, ide itu mungkin akan ditolak Presiden. "Yang diinginkan pemerintah bukanlah sekadar pemerataan pendapatan, melainkan pemerataan aset perusahaan," katanya. Pemerataan pendapatan selama ini sudah diterapkan antara lain dalam pajak progresif, lalu ditransferkan kepada koperasi, program Inpres, atau yang sejenisnya. Ia menilai program itu baik. Jika pemerataan aset kini hendak dilakukan, ia berharap pemerintah telah memikirkan dampaknya. Misalnya PT Bogasari menjual saham kepada koperasi karyawan. "Karyawan di sana sudah mampu membeli mobil BMW. Kalau dikasih aset lagi, wah, wah...," kata pengamat ekonomi yang tak mau disebut namanya itu. Pakar ekonomi dari Universitas Gadjah Mada, Gunawan Sumodiningrat, melihat kelemahan lain dari program ini. Jika saham perusahaan diberikan kepada koperasi, maka yang akan menikmati adalah wadah koperasi, bukan individu anggota koperasi. Aset yang diberikan konglomerat itu pun cuma sepotong kecil dari kelingking konglomerat, sehingga koperasi tak akan mungkin mengontrol perusahaan. Karena itu, menurut Gunawan, daripada koperasi diberi pinjaman untuk membeli saham lebih baik pinjaman itu dimanfaatkan untuk meningkatkan kemampuan koperasinya.

Prof.Dr. Sadli cenderung mendukung pemerataan lewat rumusan BUMN, yakni setiap perusahaan dianjurkan menyisihkan keuntungan 1-5% untuk membantu koperasi. "Lebih sederhana, operasionalnya gamblang," kata Sadli. Dalam hal ini, Sadli mendukung pendapat Prof.Dr. Sumitro. Katakanlah 31 konglomerat mengumpulkan Rp 50 milyar. Dana itu lalu dikelola oleh suatu mutual fund, hasilnya bisa dipakai untuk membina koperasi. Ide lain dari kelompok Prasetiya Mulya, yakni kerja sama konglomerat dengan koperasi untuk mendirikan perusahaan baru. "Kita bisa memberikan saham kosong kepada koperasi sampai 30%. Jadi, kita memberi subsidi kepada koperasi," kata salah seorang dari kelompok itu. Jika ide terakhir ini juga ditolak Presiden, 31 konglomerat tentu harus menjadi kelinci percobaan dalam menjual sahamnya kepada koperasi. Harapan mereka: perusahaan diberi kebebasan memilih koperasi yang menjadi mitranya. "Kami tak ingin, itu nanti ditentukan oleh departemen tertentu," ujar pengusaha yang tak mau disebut namanya. Sofyan Wanandi, bos Group Pakarti Yoga, mengatakan bahwa sampai Senin pekan ini mereka belum merumuskan konsep final. "Om Liem (Sioe Liong) ternyata flu berat, sehingga pertemuan tertunda. Jadi, sabarlah," kata Wanandi, yang kini digelari pengusaha bermodal jaket kuning itu.

Sementara itu, beberapa pengusaha lain sudah mulai mengasah otak. Aburizal Bakrie, bos dari Grup Bakrie, sudah memerintahkan para eksekutifnya agar mempersiapkan penjualan saham kepada koperasi. "Mental kita sudah siap. Tapi, secara fisik, sedang dicari jalan supaya tidak merugikan semua pihak," ujar Aburizal, yang lazim dipanggil Ical. Perusahaannya siap berunding dengan koperasi yang mau membeli saham perusahaan Grup Bakrie. Syamsul Nursalim, bos Grup Gajah Tunggal, juga mengaku siap. Nursalim mempunyai ide yang agak lain. Ia mengharapkan, program penjualan saham kepada koperasi itu diimbangi dengan keringanan pajak. Artinya, kalau perusahaan melepaskan 1% saham kepada koperasi, maka beban pajaknya dipotong 1%. Kalau tidak, perusahaan akan mengambil strategi lain, misalnya membebankan biaya pada harga produk-produknya. Nah, lagi-lagi akan terjadi ekonomi biaya tinggi. Bob Hasan, raja bisnis kayu dan rotan, ternyata sudah membuat ancang-ancang lebih cepat. Kini ia tengah mempersiapkan penjualan sebagian saham perusahaan teh PT Nusamba kepada koperasi di Jawa Barat. "Kalau tidak akhir bulan ini, bulan depan," kata Bob, Sabtu lalu. Menurut Bob, ia menjual saham kepada koperasi bukan sekadar untuk memberi dukungan moral. Katakanlah koperasi karyawan dikasih 15%, KUD dijatah 15%, sisanya untuk petani teh. "Dengan adanya pemilikan itu, dia akan lebih setia kepada pabrik. Kalau sekadar moral, dapat apa? Dapat angin!" ujar Bob. Max Wangkar dan Bachtiar Abdullah


No comments:

Post a Comment