Monday, March 14, 2011

Dana, Irama, dan PHK


20 Juli 1991

Puluhan karyawan koran Pelita mengadu ke DPR karena dipecat. WARTAWAN datang ke DPR untuk meliput, itu bukan berita. Tapi kalau wartawan datang ke DPR untuk melapor? Bisa dimengertilah kalau para anggota DPR Jumat pekan silam kaget tatkala sekitar 40 karyawan harian umum Pelita -- sebagian besar mengaku wartawan -- yang di-PHK-kan (pemutusan hubungan kerja) mengadu ke Fraksi Karya Pembangunan. Mereka dipimpin oleh Zulvan Z.B. Lindan (bekas Kepala Badan Pengembangan dan Penelitian) dan Tengku A.K. Jacobi (bekas Pemimpin Redaksi) yang berbicara atas nama Dewan Karyawan Pelita. "Pengaduan dari kalangan pers ini merupakan kasus langka," kata Oka Mahendra, anggota F-KP, seusai menerima mereka. Menurut rombongan "langka" itu, 52 orang Pelita sudah tercatat dalam daftar PHK. Sejak Juni lalu, satu per satu, 30 orang telah diundang ke rumah Pemimpin Umum Pelita, Abdul Gafur, dan kemudian menerima surat keputusan PHK. Jumlahnya mungkin bakal bertambah karena, "Direksi hanya akan menyisakan 100 karyawan, sedangkan jumlah yang ada sekarang 253 orang," kata Zulvan.
Kemelut yang melanda koran yang terbit sejak 1974 itu, menurut mereka, mulai terasa pertengahan tahun silam. Ketika itu Pelita memperoleh suntikan dana Rp 4 milyar dari Abdul Gafur, pengusaha Aburizal Bakrie, dan Fadel Muhammad. Masuk pula puluhan wartawan dari berbagai media massa. Terhitung sejak 1 Oktober 1990, Pemimpin Umum Pelita dipegang oleh Abdul Gafur, dan kemudian Azkarmin Zaini menjabat kursi Pemimpin Redaksi, yang sebelumnya diduduki A.K. Jacobi. Manajemen baru itu diharapkan mampu menaikkan oplah. Tapi, nyatanya, menurut Zulvan, justru merosot. Tiras Pelita saat ini, katanya, hanya 37 ribu eksemplar. Padahal, dahulu mencapai 40 ribu. "Untuk periode Januari-Mei 1991 rugi sekitar Rp 1,5 milyar," katanya. Zulvan kemudian membandingkan dengan kondisi keuangan ketika Akbar Tandjung (sekarang Menpora) masih duduk sebagai pemimpin umum. Untuk periode Januari-Agustus 1990, misalnya, Pelita memperoleh laba sekitar Rp 184 juta.
Kerugian, kata Zulvan, terjadi karena pimpinan salah mengantisipasi dan mengambil keputusan terhadap berbagai masalah. Misalnya, penghamburan biaya untuk membeli komputer dan merekrut karyawan baru. Dahulu, jumlah karyawan hanya 183 orang, sekarang 253. Betulkah tuduhan Zulvan itu? Ketika dihubungi, Gafur dan Azkarmin menolak menjawab. Begitu pula Fadel Muhammad. "Nanti saya akan ngomong di konperensi pers," kata Abdul Gafur kepada TEMPO. Namun, menurut sebuah sumber, pemecatan itu sesuai dengan komitmen yang disepakati sejak adanya manajemen baru. Siapa saja, karyawan baru atau lama, yang tidak sesuai dengan irama kerja manajemen baru akan dikeluarkan. Ternyata, sampai sembilan bulan, mereka yang dipecat dianggap tidak memenuhi syarat. "Bahkan, ada yang masuk hanya tiga hari dalam seminggu," katanya. Sumber itu juga membantah bahwa sebagian besar yang dipecat adalah wartawan. "Paling-paling wartawannya cuma delapan orang," katanya. Dia juga membantah bahwa manajemen lama pernah meraih untung. Ketika diambil alih, Pelita menanggung utang Rp 1,2 milyar. "Separonya dilunasi Pak Gafur," katanya. Oka Mahendra berjanji akan membantu menyelesaikan kasus ini secara kekeluargaan. Namun, ia tak menyalahkan bila kasus ini dibawa ke pengadilan. "Kami memang siap untuk meneruskannya ke pengadilan," ujar Zulvan. Priyono B. Sumbogo, Ardian Taufik Gesuri dan Ivan Haris

No comments:

Post a Comment