Thursday, March 10, 2011

Brother Muda Di Puncak Tangga


27 Februari 1988

BEBERAPA pedagang kelontong di Pasar Tanah Abang tentu masih ingat pada seorang pemuda, yang agak lusuh ketika itu, menawarkan tas dagangannya. Produk yang dijajakannya tampak mentereng. Meskipun bagus, tas itu bukan eks impor. Itulah tas buatan Bandung. Begitu pula para pemilik toko besi di Surabaya, Jakarta, Medan, Ujungpandang, dan kota lainnya. Mereka tentu masih ingat pada seorang pemuda yang bolak-balik menawarkan dagangannya. Kali ini pipa air. Tapi kalau suatu ketika Anda menjumpai pemuda (yang kini berusia 42 tahun) itu mengendarai sedan Mercy, jangan kaget. Dialah Aburizal Bakrie, yang sejak awal tahun ini menjabat Presdir Bakrie & Brothers.
"Bakrie Tua-lah yang mendidik saya sampal Jadi orang seperti sekarang," ucapnya khidmat. Menurut Ical - ini nama kecilnya sang ayah mendidik semua anaknya dengan keras. "Terutama disiplin dalam menggunakan uang," tuturnya mengenang. Misalnya ketika masih kuliah di Jurusan Elektro ITB, Ical hanya mendapatkan uang saku pas-pasan. Dan seorang temannya ingat betul, Ical lebih sering makan dengan gado-gado tok, ketimbang ayam goreng. Disiplin seperti ini berlanjut hingga Ical telah menjadi sarjana elektro, dan menduduki jabatan Wakil Presdir.
Konon, sang bapak tidak membolehkan anak-anaknya memakai uang perusahaan seenaknya. Semua harus hidup cukup dari gaji dan bonus (di BB setiap karyawan memperoleh pendapatan total 15 bulan gaji). "Kalau membutuhkan uang lebih, kami diperbolehkan meminjam tidak lebih dari sebulan gaji, yang dicicil selama 10 bulan," tutur ayah tiga anak ini. Dengan kata lain, uang perusahaan bukanlah uang pribadi, tapi uang yang diputar untuk banyak karyawan. Maka, tidaklah aneh kalau di BB tidak pernah ada pembagian dividen.
Pernah salah seorang anak Bakrie Tua mengusulkan agar ada pembagian dividen. Tapi apa jawabnya? "Ayah hanya bilang buat apa dividen dibagi-bagi, uangnya untuk apa?" Sampai akhirnya anak-anak Bakrie Tua, termasuk Ical, sadar bahwa di situlah kunci sukses yang mengangkat BB. Sikap seperti ini tampaknya akan tetap dipertahankan oleh penerus BB. "Bukan hanya di perusahaan, tapi juga di rumah, untuk mendidik anak-anak saya," katanya pula. "Buat saya, alasan hilang pensil atau sejenisnya tidak berlaku. Walaupun masih kecil, mereka harus sudah bisa membedakan mana saku kiri dan mana saku kanan," ucap Aburizal dalam nada sungguh-sungguh.
Tentu bukan hanya berhemat yang diajarkan Bakrie Tua. Ical juga sudah dikaderkan sebagai putra mahkota, sejak masih kuliah. Berpatungan dengan beberapa temannya, Ical pada 1968 mendirikan PT Medio Enterprise (ME), yang melayani pembuatan meja gambar, rumah, hingga jembatan. Tapi tahun 1972 usahanya bangkrut total. Ketika itu, ME memenangkan tender membangun jembatan senilai Rp 70 juta. Lantaran kalkulasinya meleset, perusahaan modal dengkul itu malah berutang Rp 20 juta. "Saya bingung cari uang sebesar itu," ujarnya. Jalan terakhir, ya, ke mana lagi kalau bukan mengadu pada Bakrie Tua. Pinjaman diperoleh, tapi diiringi derai tawa sang ayah. "Bagus, Ical, bagus. Saya senang kamu gagal. Sebab, orang gagallah yang akan berhasil," ujarnya ketika itu. Selesai? Tidak. Sesuai dengan aturan main, Ical harus membayar, dengan cara menjadi pegawai ayahnya, sebagai penjaja pipa. Konon, utang itu baru terbayar dua tahun kemudian. "Jadi, beliau bukan hanya sekadar ayah, tapi juga bos dan pembimbing saya," tuturnya.
Pendidikan selanjutnya adalah memperkenalkan Ical pada dunia usaha yang lebih besar. Seperti pada acara-acara transaksi ataupun negosiasi Ical selalu mendampingi ayahnya. Lain lagi dengan riwayat kepemimpinannya. Ical mengaku, ia belajar berorganisasi ketika kuliah dan menjadi Ketua Dewan Mahasiswa ITB. Baru kemudian masuk Hipmi, dan terakhir mengorganisasikan kegiatan olah raga (bulu tangkis dan sepak bola). Menurut Ical, semua itu dilakukan untuk melatih diri sebagai organisatoris. "Coba saja perhatikan, manajer yang majunya pesat rata-rata pernah aktif di kampus," ujar karateka yang pernah menjadi juara Provinsi Jawa Barat ini. Tempaan bagi seorang manajer tampaknya sudah lengkap. Kini tinggal menguji kemampuan yang sebenarnya, menghadapi gelombang dunia bisnis. "Akan kami buktikan, tanpa Ayah pun BB akan tetap solid." Mudah-mudahan, Cal. Budi Kusumah

Sumber: Majalah Tempo

No comments:

Post a Comment