Thursday, March 10, 2011

Berlaga Di Gedung Bursa


17 Juni 1989

BULAN Juni ini ternyata bulan sibuk bagi BEJ (Bursa Efek Jakarta). Menurut Ketua Bapepam Marzuki Usman, tujuh perusahaan yang hendak melemparkan sahamnya adalah PT Jaya Pari Steel, PT Sepanjang Surya Gas (15 Juni), PT Ficorinvest, PT Bandung Indah Plaza Permai (26 Juni), PT Asuransi Marine (27 Juni), PT Delta Djakarta (29 Juni), dan Bakrie Brothers (30 Juni). Sisanya, yang selusin lagi, berniat menjual obligasi. Yang juga akan menambah semaraknya pasar modal ialah pembukaan Bursa Efek Surabaya (BES). Pada peresmiannya Jumat pekan ini, ada tiga perusahaan bakal berlaga di lantai BES: Jaya Pari Steel, Sepanjang Surya Gas, dan Darmo Grande.
Menurut penjelasan Ketua Bapepam (Badan Pelaksana Pasar Modal), perusahaan yang hendak go public diharuskan memperlihatkan pembukuannya yang paling baru. "Batasannya paling lama adalah enam bulan, biasana habis bulan Juni dan Desember," kata Marzuki Usman. Tapi, apakah semua perusahaan itu telah memenuhi kriteria yang telah digariskan Pemerintah? Tampaknya, kok ada yang belum meraih untung. "Kalau perusahaan mau masuk ke bursa yang dikelola Bapepam, harus sudah punya keuntungan. Kalau perusahaannya baru, seperti PT Panca Wiratama Sakti itu, silakan masuk ke bursa swasta yang dikelola PT Bursa Paralel," ujar Marzuki.
Kini pemasaran saham dan obligasi, tampaknya, bukan masalah lagi. Terutama pasar saham. Animo masyarakat dan investor asing begitu besar sehingga harga bisa dipasang setinggi mungkin. Saham PT Asuransi Bina Dharma Arta (ABDA), misalnya. Bernilai nominal Rp 1.000, saham itu dijual Rp 3.800. Pemilik perusahaan menyetor modal Rp 4,5 milyar (yang Rp 3 milyar baru disetor 20 Mei lalu) untuk menguasai 83,3% saham ABDA. Masyarakatlah yang menyetorkan modal Rp 3,42 milyar. Berarti, setoran masyarakat bisa menutup modal yang disetorkan para pendirinya. Tapi kenapa masyarakat hanya diberi saham 16,7%? "Orang yang mendirikan perusahaan harus diberi goodwill. Merekalah yang bikin perusahaan dari nol sampai bisa untung. Yang datang kemudian, kan tinggal menikmati saja," ujar Ketua Bapepam Marzuki.
Katanya, saham-saham itu juga bergantung pada selera masyarakat. Saham pabrik kabel Sucaco misalnya, yang bernilai nominal Rp 5,8 milyar, terjual habis seharga Rp 35,96 milyar. Perusahaan ini meraih laba (capital gain) sekitar Rp 30 milyar. PT Sepanjang Surya Gas (SSG) adalah perusahaan yang hendak meraih laba (capital gain) lebih daripada ABDA. Menurut Dirut Pujianto, jika diizinkan, ia akan melepaskan 45% sahamnya. Saham-saham yang bernilai nominal Rp 1.000 itu akan dipasarkan di Bursa Efek Surabaya (BES) pada harga Rp 4.100. "Sudah banyak investor asing yang mau beli, kok," kata Pujianto. SSG akan menjual 3,5 juta lembar. Kalau sukses, perusahaan ini akan memperoleh modal Rp 3,5 milyar plus capital gain Rp 10 milyar lebih. "Bisnis kami sebenarnya menguntungkan," kata Pujianto. Hanya dulu tidak dikelola secara profesional. Sekarang sudah dirombak sehingg distribusi akan bertambai lancar," kata dirut PT SSC, yang bergelar insinyur dan M.B.A. itu. Tapi ia belum mau mengungkapkan seluruh pembukuan perusahaan sampai Kamis pekan ini. SSG beroperasi sejak 1967 di Tegal, dan menghasilkan gas asetilena. Produknya dijual dengan 60 truk tangki kepada pabrik-pabrik minuman, pabrik baja, dan pengusaha las di seluruh pulau Jawa.
PT Jaya Pari Steel adalah perusahaan yang, bersama-sama PT Sepanjang Surya Gas, merintis penjualan saham di Bursa Efek Surabaya (BES). Jaya Pari adalah perusahaan pelat baja yang beroperasi sejak tahun 1982. Presdirnya, Gunawan, terus terang mengakui bahwa selama lima tahun pertama, perusahaannya merugi. Masalah utamanya: devaluasi yang terjadi pada 1983 dan 1986. Sekarang tak ada halangan, karena perusahaannya sudah memetik laba pada tahun terakhir. "Kami go public untuk membagi keuntungan juga pada masyarakat," kata Gunawan. Keluarga Gunawan akan melepaskan empat juta lembar saham atau sekitar 26%. Nilai nominal Rp 1.000 per lembar, tapi harganya baru akan dipastikan Kamis pekan ini. "Selama birokrasi tidak rumit, pengusaha lancar memasarkan produknya, prospek perusahaan ini akan cerah," kata Gunawan, 48 tahun.
Bakrie Brothers (BB) tampaknya merupakan perusahaan yang ingin meraih modal sekaligus keuntungan besar pula. "Mana mungkin kami masuk ke bursa tanpa pertimbangan komersial?" kata Aburizal (Ical) Bakrie, Presiden Direktur Bakrie Brothers. Go public memang telah dicetuskannya sejak awal tahun silam. Tapi barangkali sekarang inilah tempo yang tepat. BB akan menjual 2,85 juta atau sekitar 15% sahamnya, yang bernilai nominal Rp 1.000 per lembar. "Maunya sih laku Rp 10.000 dan kami dapat untung lebih dari Rp 25 milyar. Tapi itu tergantung penjamin kami PT Inter Pacific," kata Presdir BB itu sambil tertawa. Menurut Ical, BB terjun ke pasar modal, terutama untuk merealisasikan cita-cita ayahnya, Achmad Bakrie, yang meninggal awal tahun silam. "Ayah pernah bercita-cita memasyarakatkan perusahaan, yang didirikan sejak zaman perjuangan tahun 1940-an," tutur Ical. BB adalah perusahaan induk yang memiliki saham pada belasan anak perusahaan. Tapi, baru saham dari enam perusahaan yang akan dijual, yakni saham PT Bakrie Pipe Industries (industri pipa minyak, gas, dan air), PT Bakrie Tosan Jaya (pengecoran besi), PT Trans Bakrie (berpatungan perusahaan Transfield dari Australia untuk menghasilkan fabrikasi baja keperluan jembatan dan tiang listrik tegangan tinggi), PT Bakrie Corrugated Metal Industry (produsen pipa baja gelombang, gorong-gorong, dan peti kemas). Juga, PT Jaya Harflex Indonesia (penghasi asbes, pipa, dan bahan bangunan) dan PT Braja Mukti Cakra (anak perusahaan Tosan Jaya).
Aburizal baru akan memberi gambaran lengkap perusahaannya, akhir Juni. "Yang kami jual hanyalah saham dari perusahaan yang bagus," kata Ical. Dalam wawancara dengan TEMPO awal tahun lalu, dikatakannya Jaya Harflex telah memetik laba Rp 700 juta pada 1987. Begitu pula industri bajanya. "Investasinya bisa kembali dalam tempo 7-10 tahun, lebih cepat daripada investasi di agribisnis, yang makan waktu sekitar 15 tahun," kata Ical waktu itu.
Tak semua perusahaan yang terjun ke bursa sudah meraih laba. Bandung Indah Plaza Permai, misalnya, yang sejak 1985 membangun pusat pertokoan mewah dan hotel di sana. Diperkirakan menelan biaya US$ 39 juta (sekitar Rp 69 milyar), BIPP akan rampung akhir tahun ini, sedangkan hotelnya mungkin dua tahun lagi. "Para pemodal BIPP sejauh ini adalah PT Summa Surya, milik Edward Soeryadjaya, yang memegang 79%. PT Putraco (Moh. Hidayat) memegang 14%, dan sisanya yang 7% tersebar pada beberapa individu," tutur Susanto Kiswandono, Manajer Keuangan PT Summa Surya. BIPP akan menjual 40% saham, yang menurut Marzuki bernilai Rp 21 milyar. Max Wangkar, Yopie Hidayat (Jakarta), Zed Abidien, Herry Mohammad (Surabaya), Heddy Susanto (Bandung) 

Sumber: Majalah Tempo


No comments:

Post a Comment