Thursday, March 10, 2011

Arus Besar Melanda Bursa


09 September 1989

KALAU orang-orang kaya sudah tergugah untuk memborong saham, akibatnya sungguh tak terduga-duga. Ribuan orang menyerbu gedung Bursa, Wisma BCA, dan Wisma Metropolitan II. Arus besar yang pertama terjadi Kamis pekan lalu di Bursa Efek Jakarta. Pagi itu, saham-saham Lippo Pacific Finance (LPF) memasuki pasar perdana. Pemilik modal yang ingin membeli terlebih dulu harus mendapatkan formulir pesanan. Selama 12 tahun terakhir ini, formulir biasanya dicetak oleh perusahaan yang hendak menjual saham. Sesudah itu barulah disebar oleh perusahaan-perusahaan penjamin emisi (underwriter), ke berbagai loket di kantor pedagang uang dan efek. Tapi pekan lalu, calon pembeli tak lagi mencari di loket-loket tersebut. Mereka langsung menyerbu ke kantor penjamin emisi. Jumlahnya ribuan orang.
Penjamin utama emisi saham LPF adalah PT Danareksa dan PT Multicor. Mulamula yang diserbu adalah loket PT Danareksa di lantai III gedung Bursa. Kamis pagi, para calon investor itu antre secara teratur mulai dari depan loket PT Danareksa di lantai II, lalu turun tangga hingga ke pelataran parkir. Celakanya, baru 300 lembar formulir yang dibagikan, sudah dikatakan habis. Orang pun lari ke loket PT Multicor, yang menjadi pemimpin underwriter di Wisma BCA. Pagi itu, pembagian formulir berjalan agak teratur hingga sekitar pukul 10 pagi. Kemudian keluar pengumuman, pembagian formulir akan dilanjutkan esok harinya. Pengumuman itu bagaikan lampu yang menarik ribuan laron.
Menurut cerita satpam di situ, sekitar pukul 2.00 Jumat dinihari, sudah ada 30 orang berkerumun di depan Wisma BCA. Kerumunan terus bertambah. Pada pukul 7.00 pagi diperkirakan jumlah yang antre mencapai 3.000. Ketika panas matahari mulai terasa menggigit kulit, calon investor tampak resah. Dorong-mendorong pun terjadi, hingga pintu kaca setebal 8 mm di lantai dasar Wisma BCA ambruk. Beberapa orang di situ terpental, jatuh, kemudian diinjak-injak massa yang menyerbu dari belakang. Karena ruangan tak cukup untuk menampung ribuan orang, mereka pun terpaksa berimpit-impitan. "Beberapa orang jatuh pingsan, sehingga harus dilarikan ke rumah sakit," tutur seorang satpam BCA.
Perburuan formulir LPF itu telah menyebabkan kemacetan lalu lintas di Jalan Sudirman arah ke selatan. Kemacetan berlanjut sampai sekitar pukul 11.00. Soalnya, banyak calon investor datan mengendarai mobil, yang kemudian memarkirnya di pinggir jalan. Jalur lambat jadi kian sempit, hingga para karyawan yang hendak masuk kerja di Wisma BCA, Wisma Metropolitan I dan II terhambat. Secara ekonomis, berapa jam kerja yang hilang tak bisa dihitung. Formulir yang dibagikan Multicor selama dua hari (Kamis dan Jumat), kabarnya, lebih dari 2.000 lembar. Tak heran bila sebagian dari yang antre tak kebagian. Untunglah, berkat pengawasan petugas yang ketat, massa bisa dikendalikan.
Kegaduhan dan kemacetan di Jalan Sudirman itu terbetik juga ke kantor Departemen Keuangan di Lapangan Banteng. Menteri Muda Keuangan Nasrudin Sumintapura, sekitar pukul 2 Jumat siang, terpaksa turun ke bursa, menemui Ketua Bapepam Marzuki Usman. Marzuki kemudian memanggil Direktur Multicor M. Hasan, dan Ketua Brokers' Club (asosiasi pialang) Sani Permana. Kepada mereka diminta, agar masalah formulir secepatnya diatasi. Dari dialog Marzuki itu pula diputuskan untuk menambah jumlah formulir dengan 5.000 lembar lagi. "Banyak formulir, tentu akan lebih lama masa prosesnya. Meskipun pakai komputer selama 24 jam nonstop," kata Presdir Multicor Kenneth Rynn, 42 tahun.
Ketua Bapepam Marzuki Usman berpendapat, masalah formulir bukanlah kesalahan para underwriter. "Mereka sudah bekerja keras. Tapi mereka kaget dan tak siap menghadapi permintaan yang tiba-tiba meledak," katanya. M. Hasan, yang menjadi kunci urusan formulir LPF, berpendapat sama. "Antusiasme masyarakat begitu hebat. Saya sangka, hal ini karena kehebatan Ketua Bapepam Marzuki Usman, melakukan promosi mengundang investor," kata Hasan. Tapi, Sani menuding pihak underwriter sebagai biang keributan itu. "Mestinya, 90% formulir disalurkan lewat loket-loket broker. Yang terjadi sekarang ini, saya yakin para underwriter memegang lebih dari 1O%," kata Sani. Ia tak percaya bahwa setiap pialang mendapat 50 formulir. Keraguannya ini bukan tak beralasan. Halim, dari PT Danatama Makmur, sampai Sabtu lalu mengaku belum menerima formulir satu pun. "Barangkali underwriter pusing, karena permintaan begitu banyak," katanya tenang.
PT Deemte Artadharma, menurut Presdir Micky Thio, cuma kebagian 12 lembar formulir. Tapi Micky toh menganggap sistem penjatahan berlangsung fair. "Jangan pialang yang dikasih banyak. Masyarakat yang antre itu yang perlu diprioritaskan. Itu kalau prinsip pemerataan mau diterapkan," kata Micky. J.A. Sereh, Presiden Direktur PT Jasereh Utama, merasa tak puas, kendati ia telah menerima 50 lembar formulir (25 dari Multicor dan 25 dari Danareksa). Menurut perhitungannya, jika formulir yang dicetak mencapai 10.000 dan 90% disalurkan lewat 70 perusahaan pialang, seharusnya ratarata pialang menerima formulir lebih dari 100. "Underwriter tentu mempunyai alasan untuk membatasi formulir pada broker tertentu. Bila di waktu lampau tak bisa jual habis, tentu kepercayaan underwriter pada broker itu berkurang. Tapi sekarang ini saya sangka underwriter sudah menerima fee 4% . Mengapa mereka masih ikut-ikutan makan komisi 1%, yang mestinya untuk broker," tutur bekas Dirut Danareksa itu.
Ledakan permintaan terhadap saham baru mestinya sudah bisa diperkirakan. Bukankah sejak bulan Juli, baik calon investor maupun para pialang sudah melihat formulir bukan lagi sekadar alat untuk memesan. Formulir sudah bagaikan kail, yang bisa dipakai untuk memancing duit di bursa. Coba pasangkan umpan senilai 100 lembar saham atau kelipatannya, maka pasti akan menjerat minimal 50% dan jumlah umpan. Tak heran jika ada pengusaha yang kini keranjingan memancing uang di pasar modal. Sementara itu, kelangkaan formulirsudah terasa sejak pasar perdana saham PT Marein, akhir Juli lalu. Kelangkaan lebih terasa lagi, karena saham PT United Tractors cuma dicetak sekitar 5.000 Iembar.
Seorang investor kakap memperlihatkan formulir sebanyak 25 lembar saham United Tractors, yang katanya dibeli seharga Rp 50.000 per lembar. Lebih hebat lagi, formulir LPF, yang mestinya gratis, kini diperjualbelikan sampai Rp 175.000 per lembar. Para investor kini yakin bahwa sahamsaham baru akan memberikan keuntungan minimal 50% dalam tempo sebulan. Saham Marein, misalnya, akhir Juli lalu dijual Rp 5.000 di pasar perdana. Senin pekan ini mulai diperdagangkan bebas di bursa dengan harga Rp 9.300. Itu berarti naik 86% dalam tempo satu bulan.
Saham PT Bakrie Brothers, yang semula di pasar perdana dijual Rp 7.975, begitu masuk ke pasar bebas awal pekan lalu, langsung terbang menjadi Rp 16.00 -- Rp 17.000. "Kenaikan harga itu bukan lagi ditentukan investor asing. Yang menentukan sekarang adalah orang-orang yang berkerubung di galeri lantai IV (Gedung Bursa)," kata seorang pialang. Beberapa rekannya juga berpendapat begitu. Yang terlihat di sana bukan lagi ibu-ibu atau bapak-bapak berusia separuh baya, yang ingin menghabiskan waktu luang dengan berspekulasi kecil-kecilan. Tapi justru pria dan wanita berusia relatif muda, yang tampil perlente dan tampak pernah mengecap pendidikan tinggi. Hal itu terlihat dari cara mereka berpakaian dan dialog mereka yang banyak dibungai kata-kata Inggris. Di antara mereka, ada yang berstatus karyawan perusahaan nasional terkemuka. Ia ditugaskan ke bursa, untuk memutarkan dana nganggur milik perusahaan tempatnya bekerja. Orang-orang semacam dia sudah hadir di situ pukul 9.00 dan bertahan terus di bursa sampai pukul 15.00. Setiap menit ia meneropong harga saham, melaporkan perkembangan harga lewat telepon mobil, melakukan pesanan jual atau beli kepada pialang di lantai bursa. Tiap hari transaksi mereka rata-rata bernilai puluhan juta, bahkan ratusan juta.
Terjadinya ledakan permintaan saham baru diduga karena banyak bank yang sejak Juni lalu kebanjiran dana. Seperti diketahui, Pakto (beleid deregulasi Oktober 1988) telah menurunkan keharusan bank-bank menitipkan uang tunai di BI, dari 15% menjadi 2% dari seluruh dana masyarakat yang bisa dihimpun. Pakto juga membatasi pemberian kredit kepada perusahaan-perusahaan kelompok bank yang bersangkutan. Apalagi Maret lalu, posisi devisa di bank dibatasi hanya sampai 125% dari seluruh nilai modalnya. Akibatnya, banyak cadangan devisa dari bank telah dirupiahkan sekitar April -- Juni lalu. Lalu sejak Juli, bank-bank tampak mulai ikut berkasak-kusuk mencari formulir saham baru di pasar modal. Yang jadi masalah ialah, jika bank-bank raksasa ikut membeli saham di pasar perdana, lalu bagaimana misi pemerataan akan bisa diterapkan. Max Wangkar, Aji. Yopie H., Ardian, Yudhi 

Sumber: Majalah Tempo

No comments:

Post a Comment